Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/03/2018, 12:26 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

2. Perang Dunia I
Pada Agustus 1914, Perang Dunia I pun pecah, Lettow-Vorbeck hanyalah komandan dari sebuah garnisun kecil yang berisi 2.600 tentara Jerman, dan 2.472 Kompi ke-14 Askaris.

Dikutip dari situs War History Online, khawatir bahwa perang bakal sampai ke Afrika, Lettow-Vorbeck berusaha untuk menambah jumlah personel tempurnya.

Namun, rencananya ditentang oleh Gubernur Koloni Jerman di Afrika, Heinrich Schnee, yang meminta Lettow-Vorbeck untuk menaati Perjanjian Kongo 1885, di mana Eropa bakal menjadikan Afrika sebagai wilayah netral.

Lettow-Vorbeck mendapat angin dia mendapat informasi kalau Inggris berencana untuk tidak menghormati Perjanjian Kongo dengan berusaha menyerang Tanga.

Dia mempersiapkan operasi militer untuk membendung serangan Inggris di Tanga. Berbekal 1.000 prajurit, Lettow-Vorbeck harus melawan 8.000 serdadu Inggris.

Baca juga : Kisah Gadis Australia Menyamar Jadi Prajurit Pria Saat Perang Dunia I

Meski begitu, Lettow-Vorbeck tetap melancarkan serangan pada 2 November 1914, dan meraih kemenangan empat hari berselang.

Lettow-Vorbeck melanjutkan kampanye militernya dengan menyerang jalur kereta api Inggris di Afrika Timur, dan merebut Jassin pada 19 Januari 1915.

Kemenangan di Jassin tidak hanya memberi Lettow-Vorbeck segala persenjataan modern. Namun juga suntikan moral bagi anak buahnya.

Meski begitu, dalam dua serangan tersebut, Lettow-Vorbeck harus kehilangan perwira terbaiknya. Antara lain Kapten Tom von Prince yang disebutnya "tidak tergantikan".

Sadar bahwa dia bakal kehilangan orang-orang terbaiknya jika meladeni perang terbuka, Lettow-Vorbeck menggunakan taktik yang sangat dibencinya; perang gerilya.

Selama tiga tahun berikutnya, Lettow-Vorbeck menggelar operasi gerilya paling sukses dalam sejarah Perang Dunia I.

Sebagai langkah awal, schutztruppe melalukan perekrutan, hingga terbentuklah 14.000 pasukan yang sebagian besar merupakan Askaris.

Dalam melaksanakan tujuannya, Lettow-Vorbeck menggunakan bahasa Swahili, sehingga dia berhasil meraih simpati dan hormat di kalangan prajurit Afrika.

Baca juga : 100 Tahun Perang Dunia I Diperingati di Berbagai Negara

Sejarawan menulis, Lettow-Vorbeck adalah perwira yang tidak membeda-bedakan anak buahnya. "Kita semua adalah orang Afrika di sini," kata Lettow-Vorbeck pada salah satu perwira Afrika.

Selain menambah personil, Schutztruppe juga menerima bantuan senjata dari kapal SMS Koenigsberg yang berlabuh di delta Sungai Rufiji.

Pada September 1916, Inggris dan Belgia mengerahkan 48.000 pasukan di bawah pimpinan Jenderal JC Smuts dan Jenderal Charles Tombeur di Tabora.

Pasukan gabungan itu pertama kali berhadapan dengan Mayor Kurt Wahle yang hanya membawa 5.000 tentara, sehingga memaksanya mundur untuk bergabung dengan skuad utama.

Lettow-Vorbeck kemudian melancarkan penyergapan menggunakan iklim dan tebing Afrika sebagai sekutunya.

Dalam pertempuran di Mahiwa Oktober 1917, Schutztruppe mampu menewaskan 2.700 tentara Inggris, dan hanya kehilangan 519 orang.

Di 1917, Lettow-Vorbeck membawa pasukannya bergerak ke selatan di mana Kerajaan Inggris masih melakukan pengejaran.

Dia menyeberangi Sungai Rovuma, dan maju menuju Mozambik Portugal. Di sana, Lettow-Vorbeck melakukan langkah berani dengan memutus jalur perbekalannya.

Keputusan tersebut membuat pasukannya harus berpindah-pindah demi mendapatkan suplai makanan, obat, dan amunisi.

Pada 26 November 1917, Lettow-Vorbeck menyerang garnisun Portugal di Ngomano, dan berhasil mendapatkan segala kebutuhan logistik untuk pasukannya.

Selama setahun, Schutztruppe mengisi perbekalannya dengan menyerang pos-pos Inggris dan Portugal.

Saat Perang Dunia I berakhir di 11 November 1918, pasukan Lettow-Vorbeck masih bisa  merebut Kasama, Katanga, dan sempat menyeberangi Sungai Chambeshi.

Kiprahnya baru berakhir setelah Pejabat Pengadilan Inggris Hector Croad, menyerahkan bendera putih dan surat dari Jenderal Jacob van Deventer.

Isinya, Jerman kalah dalam Perang Dunia I, dan Lettow-Vorbeck harus melakukan gencatan senjata, serta menuju Abercorn (kini Mbala) untuk menyerahkan diri.

Lettow-Vorbeck, saat itu berpangkat Letnan Jenderal, setuju dengan surat tersebut di saat pasukannya masih belum terkalahkan dalam medan tempur Afrika.

Pada 25 November 1918, Lettow-Vorbeck menyerahkan diri bersama 30 perwira Jerman, 125 perwira cadangan Jerman, 1.168 Askaris, dan 3.500 pengangkut.

Baca juga : Ada Bungker Era Perang Dunia II Tersembunyi di Bawah Stasiun Kereta di Paris

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com