Dengan hampir dua juta likes, jangkauan fan page tersebut dengan mudahnya mengalahkan jangkauan gerai-gerai yang telah lama berdiri.
Di Brunei, Pangeran Abdul Mateen menjadi model sampul depan majalah GQ. Akun instagramnya secara rutin menampilkan foto sang pangeran mengemudikan pesawat, mengelus anak harimau, dan bermain polo.
Seiring dengan perkembangan media sosial yang semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita, para bangsawan ini pun beradaptasi. Determinasi dan keahlian mereka dalam menggunakan Facebook, Instagram, dan Twitter telah berhasil melejitkan profil mereka.
Dampaknya membuat mereka sangat terkenal, bahkan hingga ke Malaysia. Ketenaran mereka melebihi kaum elit politik.
Dengan kepercayaan diri mereka yang besar, beberapa bahkan memilih untuk memanfaatkan pengaruh dirinya ke dalam kehidupan publik.
Sebagai contoh, Sultan Johor, Sultan Ibrahim Ibni Almarhum Sultan Iskandar, telah secara terbuka melawan pembeda-bedaan berbasis agama.
Saat sebuah binatu di negara bagiannya menerapkan kebijakan “hanya melayani pelanggan Muslim”, sang Sultan memerintahkan (dan berhasil) agar peraturan tersebut dicabut.
Baca juga : Soal Jasa Cucian Khusus Muslim, Sultan Johor: Ini Bukan Negara Taliban
Sikapnya ini menegaskan visinya akan sebuah Bangsa Johor, bahwa Johor adalah untuk semua rakyat Johor. Tindakannya makin didukung oleh pernyataan dari penguasa-penguasa lainnya.
Lebih lanjut, ketika seorang pendakwah dari Departemen Urusan Keagamaan Federal mengritik keputusan sang Sultan, dia pun dihujat keras oleh para netizen yang mendukung keluarga Kerajaan Johor.
Sang Penguasa Johor mengatakan bahwa ia ingin memutuskan hubungan dengan badan keagamaan federal tersebut. Sang pendakwah dipenjara untuk beberapa hari, kemudian negara bagian Selangor mencabut izinnya untuk berdakwah di masjid.
Tindakan seperti itu belum pernah terjadi sama sekali dalam sejarah negara mayoritas Muslim tersebut.
Di Yogyakarta, Sri Sultan, yang keluarganya telah menjadi penguasa kota tersebut sejak 1755, mendukung perpanjangan moratorium terhadap izin untuk hotel-hotel baru.
Ia juga telah menolak rencana pembangunan sebuah jalan tol baru, atas alasan isu perkembangan tak terkendali dan kekhawatiran akan banyaknya turis yang dapat membuat penduduk lokal kesulitan.
Baca juga : Sultan HB X Tolak Pembangunan Jalan Tol di Yogyakarta
Di dalam lanskap media abad ke-21 yang seringkali tak teratur dan selalu berubah, beberapa keluarga kerajaan jelas terlihat telah mengambil kesempatan untuk merangkul rakyatnya, meningkatkan citra dan mempertegas kembali relevansi politik mereka.
Tentunya hal ini membuat mereka rentan akan aspek kebebasan media sosial, di mana kritik dan hasutan di antara para pengguna tak bisa terhindarkan.