RAFAH, kota paling selatan di Jalur Gaza, dikepung dan terus-menerus diserang Israel.
Sebelum 7 Oktober 2023, kota yang luasnya hanya 64 km persegi itu sudah kelebihan penduduk dan dilanda kemiskinan dan kondisi kehidupan yang buruk akibat blokade Israel selama 17 tahun terakhir.
Sejak 7 Oktober itu, setelah Israel secara paksa mengusir warga Palestina dari Gaza utara dan tengah ke arah selatan, populasi Rafah meningkat lima kali lipat. Dalam beberapa bulan saja jumlah penduduknya menjadi sekitar 1,5 juta jiwa.
Baca juga: Israel Bersumpah Lanjutkan Serangan di Rafah, sebab Gencatan Senjata Tak Pasti
Orang-orang di Rafah, yang sejarah kotanya terbentang selama tiga milenium, kini tinggal di tenda-tenda darurat yang sempit. Tempat-tempat tinggal sementara itu dihuni para pengungsi Palestina yang telah beberapa kali mengungsi dalam hidupnya.
Israel telah merencanakan serangan darat ke Rafah untuk menggempur kelompok Hamas.
Rafah diperkirakan telah dihuni selama lebih dari 3.000 tahun, dan namanya muncul dalam prasasti Mesir kuno yang berasal dari abad ke-13 SM.
Kota itu tumbuh di sekitar sebuah oasis yang menghubungkan Semenanjung Sinai dengan Gaza. Kota ini disebut sebagai Robihwa oleh orang Mesir kuno, Raphia oleh orang Yunani dan Romawi, Rafiah oleh orang Israel, dan Rafah oleh orang Arab.
Kota itu menjadi lokasi Pertempuran Raphia tahun 217 SM, salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah kuno, yang melibatkan sekitar 150.000 prajurit dan hampir 200 gajah.
Pertempuran Raphia terjadi antara Kerajaan Ptolemaik dari Mesir di bawah pimpinan raja mereka, Ptolemaios IV Philopator, dan Kerajaan Seleukia dari Suriah di bawah pimpinan raja mereka, Antiokhos III Megas. Pertempuran ini terjadi dekat sungai Raphia (sekarang bernama Wadi al-Arish) di dekat perbatasan Mesir dan Palestina.
Pertempuran itu merupakan dampak dari persaingan antara kedua kerajaan Hellenistik tersebut untuk menguasai wilayah-wilayah di Timur Tengah. Pada saat itu, Kerajaan Seleukia sedang dalam proses memperluas kekuasaannya di wilayah Levant, yang sebelumnya dikuasai Ptolemaik.
Ptolemaios IV Philopator, yang pada awalnya kurang berminat dalam urusan negara dan lebih tertarik pada kesenangan pribadi, akhirnya dipaksa untuk menghadapi ancaman invasi Seleukia.
Pertempuran ini dianggap sebagai salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah dunia kuno karena kedua belah pihak mengerahkan pasukan yang besar. Pasukan Ptolemaik dipimpin Jenderal Skotas, sedangkan pasukan Seleukia dipimpin raja mereka, Antiokhos III. Pasukan Seleukia lebih besar, dengan perkiraan jumlah prajurit mencapai 62.000 hingga 68.000, sementara pasukan Ptolemaik diperkirakan sekitar 40.000 hingga 45.000 prajurit.
Pertempuran dimulai dengan serangan kavaleri dari kedua belah pihak, tetapi pertempuran sebenarnya dimenangkan oleh infanteri Ptolemaik yang berjumlah lebih besar. Meskipun pasukan Seleukia memiliki pasukan kavaleri yang lebih unggul, infanteri mereka tidak sekuat pasukan Ptolemaik. Pasukan Ptolemaik berhasil mengalahkan pasukan Seleukia.
Dampak dari Pertempuran Raphia adalah kekalahan telak bagi Kerajaan Seleukia. Mesir mempertahankan kendali atas wilayah-wilayahnya di Levant, sementara Antiokhos III terpaksa mundur ke Suriah. Kekalahan ini melemahkan posisi Seleukia di Timur Tengah dan membantu memperkuat posisi Ptolemaik, meskipun kemudian kekaisaran Seleukia berhasil pulih di bawah pemerintahan Antiokhos III.
Beberapa dekade kemudian, tepatnya tahun 193 SM, Raphia menjadi tempat di mana putri Seleukia, yaitu Cleopatra I, menikah dengan Ptolemeus V.
Rafah kemudian sempat diperintah oleh kerajaan Hasmonean, setelah ditaklukkan raja Yahudi Helenistik, Yannai Alexander. Kemudian jatuh ke tangan Romawi selama kurang lebih tujuh abad.
Pada tahun 635, di tahun-tahun awal Islam muncul, pasukan Kekhalifahan Rashidun merebut kota itu dari Bizantium. Kota ini kemudian tetap berada di tangan beberapa penguasa dan dinasti Muslim, termasuk Bani Umayyah, Abbasiyah, dan kemudian Ottoman.
Selama abad-abad awal pemerintahan Islam, Rafah dikenal sebagai tempat peristirahatan para pedagang keliling. Di sana ada hotel, toko, pasar, dan masjid, menurut sejarawan abad ke-11.
Komunitas Yahudi berkembang pesat di Rafah antara abad kesembilan dan ke-12, namun sebagian besar mereka akhirnya berpindah ke negara tetangga Ashkelon, yang sekarang menjadi wilayah Israel.
Pada tahun 1906, saat masih di bawah pemerintahan Ottoman, untuk pertama kalinya Rafah menjadi kota yang terbagi menjadi dua bagian. Sebuah garis ditarik antara Mesir yang saat itu dikuasai Inggris dan Palestina yang dikuasi Ottoman, yang membelah kota Rafah.
Satu dekade kemudian, saat Revolusi Arab dan jatuhnya Kesultanan Ottoman atau Utsmaniyah, Rafah lalu jatuh ke tangan Inggris, tepatnya tahun 1917. Menurut data statistik dari Mandat Inggris di Palestina, terdapat 599 orang di Rafah pada tahun 1922. Jumlah penduduknya meningkat menjadi 2.220 orang tahun 1945. Semua penduduk itu diperkirakan beragama Islam.
Selama Nakba, atau bencana (akibat perang Arab-Israel) tahun 1948, sebanyak 750.000 warga Palestina terpaksa mengungsi dari kota-kota mereka karena terusir oleh milisi Zionis yang membentuk negara Israel. Pada saat itu, Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir, dan pembagian wilayah Kota Rafah yang bermula tahun 1906 tetap dipertahankan.
Baca juga: Warga Rafah Menari dan Bersorak Mendengar Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata di Gaza...
Pada tahun 1949, kamp pengungsi Rafah didirikan untuk menampung para pengungsi Palestina yang mengungsi selama Nakba.
Hingga saat ini, terdapat 133.326 pengungsi yang terdaftar secara resmi di kamp tersebut oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Jumlah sebenarnya para penghuni kamp tersebut kemungkinan jauh lebih besar.
Kamp ini hanya seluas 1,2 km persegi dan merupakan salah satu daerah terpadat di wilayah pendudukan Palestina. Kamp itu memiliki 18 sekolah yang dikelola PBB, dua fasilitas kesehatan, dan dua pusat layanan sosial.
Perang Timur Tengah tahun 1967 berdampak lebih besar lagi di Rafah. Israel mengalahkan tentara Arab dan kemudian menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan di Suriah, dan Sinai di Mesir.