Salin Artikel

Kembalinya "Kejayaan" Monarki di Era Media Sosial

Misalnya, Pangeran Abdul Mateen dari Brunei, putra ke-10 Sultan Hassanal Bolkiah. Abdul Mateen memiliki ketampanan seperti aktor Hollywood. Ia juga memiliki akun Instagram dengan pengikut sebanyak 706.000, lebih besar dari populasi negaranya sendiri.

Lalu, ada pula Putra Mahkota Johor (negara bagian di Malaysia bagian selatan) Tunku Ismail Sultan Ibrahim. Ismail Sultan Ibrahim adalah seorang penggemar polo yang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Sepak Bola Malaysia. Ia seringkali mengutarakan opini yang lebih masuk akal dibandingkan politisi-politisi dari negaranya.

Tidak ada yang melihat keyakinan diri mereka saat ini melebihi perayaan mewah 50 tahun bertahtanya Sultan Brunei yang menjadikannya sebagai monarki paling lama berkuasa setelah Ratu Elizabeth II dari Inggris. 

Perjamuan Negara dalam perayaan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari seluruh dunia, termasuk Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Kanselir Negara Myanmar Aung San Suu Kyi (yang terlihat lebih berwibawa dari keluarga kerajaan lainnya yang hadir), dan juga sejumlah bangsawan Malaysia.

Ia satu-satunya, di antara tiga puluh empat kepala daerah provinsi di Indonesia, yang dapat mempertahankan kekuasaannya tanpa melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pikada).

Keistimewaannya itu sebagai pengingat atas jasa pendahulunya yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sri Sultan sendiri masih tetap menjadi seorang tokoh yang disegani, dikenal sebagai sebuah benteng memperkuat karakter Jawa yang unik di Yogyakarta.

Di sekitar waktu yang sama, Dewan Penguasa Malaysia (terdiri dari Sembilan Sultan di Malaysia) yang jarang bersuara, mengeluarkan sebuah pernyataan peringatan akan eksklusivisme keagamaan

Sedangkan di Thailand, masa duka yang telah berjalan setahun lamanya akan mencapai puncaknya saat Istana mempersiapkan kremasi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) yang sangat dicintai dan disegani itu.

Ratusan ribu penduduk Thailand diperkirakan akan membanjiri jalanan di Bangkok saat seluruh negara mengheningkan cipta untuk mengingat sosok yang telah menuntun negara tersebut selama tujuh dekade dalam waktu damai dan ketidakstabilan.

Sekaligus menerima realita bahwa putranya, Raja Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (Rama X)  adalah seorang figur yang jauh kurang simpatik, akan meneruskan tahta ayahnya.

Lebih dari itu, kalangan bangsawan muda ini didukung oleh media sosial. Ini memberikan mereka sebuah platform di luar batas kehidupan istana dan kekangannya.

Sebagai contoh, halaman Facebook milik klub sepak bola Johor Southern Tigers (yang diketuai oleh Tunku Ismail sebelum pindah ke asosiasi sepak bola nasional) telah menjadi corong tak resmi dari keluarga Kerajaan Johor.

Di Brunei, Pangeran Abdul Mateen menjadi model sampul depan majalah GQ. Akun instagramnya secara rutin menampilkan foto sang pangeran mengemudikan pesawat, mengelus anak harimau, dan bermain polo.

Seiring dengan perkembangan media sosial yang semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita, para bangsawan ini pun beradaptasi. Determinasi dan keahlian mereka dalam menggunakan Facebook, Instagram, dan Twitter telah berhasil melejitkan profil mereka.

Dampaknya membuat mereka sangat terkenal, bahkan hingga ke Malaysia. Ketenaran mereka melebihi kaum elit politik.

Dengan kepercayaan diri mereka yang besar, beberapa bahkan memilih untuk memanfaatkan pengaruh dirinya ke dalam kehidupan publik.

Sebagai contoh, Sultan Johor, Sultan Ibrahim Ibni Almarhum Sultan Iskandar, telah secara terbuka melawan pembeda-bedaan berbasis agama.

Saat sebuah binatu di negara bagiannya menerapkan kebijakan “hanya melayani pelanggan Muslim”, sang Sultan memerintahkan (dan berhasil) agar peraturan tersebut dicabut.

Lebih lanjut, ketika seorang pendakwah dari Departemen Urusan Keagamaan Federal mengritik keputusan sang Sultan, dia pun dihujat keras oleh para netizen yang mendukung keluarga Kerajaan Johor.

Sang Penguasa Johor mengatakan bahwa ia ingin memutuskan hubungan dengan badan keagamaan federal tersebut. Sang pendakwah dipenjara untuk beberapa hari, kemudian negara bagian Selangor mencabut izinnya untuk berdakwah di masjid.

Tindakan seperti itu belum pernah terjadi sama sekali dalam sejarah negara mayoritas Muslim tersebut.

Di Yogyakarta, Sri Sultan, yang keluarganya telah menjadi penguasa kota tersebut sejak 1755, mendukung perpanjangan moratorium terhadap izin untuk hotel-hotel baru.

Ia juga telah menolak rencana pembangunan sebuah jalan tol baru, atas alasan isu perkembangan tak terkendali dan kekhawatiran akan banyaknya turis yang dapat membuat penduduk lokal kesulitan.

Di dalam lanskap media abad ke-21 yang seringkali tak teratur dan selalu berubah, beberapa keluarga kerajaan jelas terlihat telah mengambil kesempatan untuk merangkul rakyatnya, meningkatkan citra dan mempertegas kembali relevansi politik mereka.

Tentunya hal ini membuat mereka rentan akan aspek kebebasan media sosial, di mana kritik dan hasutan di antara para pengguna tak bisa terhindarkan.

Tak pelak lagi, dorongan demokratisasi media sosial dapat dan memang telah menciptakan ketegangan dengan gagasan-gagasan tradisional akan kesucian anggota kerajaan.

Beragam netizen di wilayah Asia Tenggara (terutama di Thailand) telah bertabrakan dengan “lèse-majesté” atau dengan hukum-hukum penistaan yang terbilang kuno.

Namun, di saat pemerintah terpilih menghadapi serangan-serangan atas integritas dan kredibilitas mereka, peningkatan kepopuleran (dan keabadian) anggota kerajaan telah memungkinkan mereka yang lebih cerdik, untuk memposisikan diri secara de facto sebagai suara hati dari negara mereka masing-masing.

Walaupun tak disertai dengan kekuasaan langsung seperti milik pemerintah eksekutif, mereka telah menguatkan pengaruh moral dan sosial mereka.

Media sosial adalah sebuah kekuatan yang mampu memecah-belah sekaligus memutarbalikkan status quo. Media sosial juga mampu meratakan lapangan permainan dan mengganti hirarki yang lama.

Ironisnya, paling tidak di Asia Tenggara, kehadiran media sosial justru memberi banyak keluarga lama kesempatan kedua dalam meraih relevansi politik asli, bahkan juga pengaruh politik.

Bagaimanapun, hal ini cukup mengkhawatirkan, terutama dengan kasus di Malaysia ketika para pemimpin secara umum telah gagal membawa kepemimpinan yang diharapkan.

Para kelompok elit yang terpilih secara demokratis telah menjadi sesuatu yang primordial, kuno, berpikiran sempit, dan sangat menolak tujuan-tujuan progresif.

Para politisi dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara harus bisa memperhatikan pelajaran ini: terlibatlah secara langsung dengan rakyat, bangun landasan dukungan yang luas, dan bertindaklah melawan ketidakadilan.

Pada akhirnya, darah biru atau tidak, institusi yang paling bisa melayani rakyat adalah yang bisa berevolusi sesuai zamannya.

https://internasional.kompas.com/read/2017/10/23/20494281/kembalinya-kejayaan-monarki-di-era-media-sosial

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke