Tak pelak lagi, dorongan demokratisasi media sosial dapat dan memang telah menciptakan ketegangan dengan gagasan-gagasan tradisional akan kesucian anggota kerajaan.
Beragam netizen di wilayah Asia Tenggara (terutama di Thailand) telah bertabrakan dengan “lèse-majesté” atau dengan hukum-hukum penistaan yang terbilang kuno.
Namun, di saat pemerintah terpilih menghadapi serangan-serangan atas integritas dan kredibilitas mereka, peningkatan kepopuleran (dan keabadian) anggota kerajaan telah memungkinkan mereka yang lebih cerdik, untuk memposisikan diri secara de facto sebagai suara hati dari negara mereka masing-masing.
Walaupun tak disertai dengan kekuasaan langsung seperti milik pemerintah eksekutif, mereka telah menguatkan pengaruh moral dan sosial mereka.
Media sosial adalah sebuah kekuatan yang mampu memecah-belah sekaligus memutarbalikkan status quo. Media sosial juga mampu meratakan lapangan permainan dan mengganti hirarki yang lama.
Ironisnya, paling tidak di Asia Tenggara, kehadiran media sosial justru memberi banyak keluarga lama kesempatan kedua dalam meraih relevansi politik asli, bahkan juga pengaruh politik.
Bagaimanapun, hal ini cukup mengkhawatirkan, terutama dengan kasus di Malaysia ketika para pemimpin secara umum telah gagal membawa kepemimpinan yang diharapkan.
Para kelompok elit yang terpilih secara demokratis telah menjadi sesuatu yang primordial, kuno, berpikiran sempit, dan sangat menolak tujuan-tujuan progresif.
Para politisi dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara harus bisa memperhatikan pelajaran ini: terlibatlah secara langsung dengan rakyat, bangun landasan dukungan yang luas, dan bertindaklah melawan ketidakadilan.
Pada akhirnya, darah biru atau tidak, institusi yang paling bisa melayani rakyat adalah yang bisa berevolusi sesuai zamannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.