Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fethullah Gulen, Bekas Sekutu yang Menjadi Musuh Erdogan

Kompas.com - 19/07/2016, 11:59 WIB

KOMPAS.com - Nama Fethullah Gulen, ulama berusia 75 tahun yang kini menetap di AS, kembali menjadi buah bibir di Turki. Sebab, Gulen disebut-sebut sebagai dalang kudeta militer yang gagal menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Bukan kali ini saja Gulen dituding hendak menggulingkan Erdogan. Beberapa tahun lalu saat skandal korupsi dan suap menjerat orang-orang dekat Erdogan, nama Gulen kembali dituduh sebagai penggerak penyidikan polisi dan kejaksaan saat itu.

Lalu siapakan Fethullah Gulen pendiri "Gerakan Gulen" dan pernah menjadi sekutu dekat Recep Tayyip Erdogan?

Dari sekutu menjadi musuh

Baru tiga tahun lalu, Gulen masih merupakan karib sekaligus sekutu Erdogan, yang saat itu masih menjabat perdana menteri , dan memainkan peran penting terkait meroketnya karier politik Erdogan.

Para pendukung Gulen, yang banyak bekerja di institusi kehakiman dan kepolisian, mendukung upaya menyingkirikan musuh pemerintah, khususnya anggota militer, yang diduga merancang upaya kudeta.

Namun, keduanya menjadi musuh besar setelah pada 2013, Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang berkuasa menuding Gulen merancang tuduhan korupsi yang menjerat sejumlah pejabat senior dan putra Erdogan, Bilal.

Menyusul dugaan kasus korupsi itu, pemerintahan Erdogan menggelar pembersihan untuk menyingkirkan para pendukung Gulen dari posisi kemiliteran, polisi dan kehakiman.

Para jurnalis dan media massa yang diduga memiliki keterkaitan dengan Gulen juga menjadi sasaran pembersihan.

Pada Maret 2013, pemerintah Turki mengambil alih harian terbesar negeri itu Zaman, setelah menempatkan perusahaan induk koran itu di bawah pengawasan negara.

Pasca-upaya kudeta pada pekan lalu, kembali puluhan ribu orang yang dianggap pengikut Gulen ditangkap atau dipecat dari pekerjaan mereka.

Siapa Fethullah Gulen?

Gulen lahir di desa Korucuk, dekat kota Erzurum pada 27 April 1941. Ayahnya, Ramiz Gulen adalah seorang ulama di desanya.

Sementara sang ibu, adalah guru Al Quran yang tetap mengajarkan ilmu agama meski pemerintah Turki melarang pengajaran agama semacam itu.

Gulen memulai pendidikan dasar di desa kelahirannya itu tetapi tak melanjutkans ekolah setelah keluarganya pindah ke tempat lain.

Dia kemudian mengecam pendidikan Islam di sejumlah madrasah di Erzurum dan memberikan khotbah pertamanya saat baru berusia 14 tahun.

Gulen, banyak disebut terpengaruh dengan ide-ide Said Nursi, seorah ahli agama berdarah Kurdi yang menulis Risale I-Nur sebuah tafsir Al Quran setelal 6.000 halaman yang ditulis antara 1910-1950.

Inti dari buku ini adalah Said Nursi yakin bahwa ilmu pengetahuan dan logika adalah jalan yang harus dijalani di masa depan.

Dia juga mengusulkan pengajaran agama di sekolah-sekolah sekuler dan pelajaran sains di sekolah-sekolah keagamaan.

Ajaran Said Nursi inilah yang menjadi inspirasi gerakan iman yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan Islam di Turki.

Hakan Yavuz, pakar Islam dri Universitas Utah, AS mengatakan, Gulen dalam pemikirannya adalah seorang nasionalis Turki.

Gulen, menurut Yavuz, mengkritik transformasi Turki atau komunitas Muslim lainnya di bawah tokoh-tokoh semacam Kemal Ataturk atau Reza Shah Pahlevi di Iran.

Namun, di sisi lain, Gulen juga konsisten menolak fundamentalisme Islam seperti yang dipraktikkan Taliban atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Sementara itu, Profesor Sayyid Abd al-Bari dari Universitas Al Azhar, Kairo dalam wawancara dengan harian Zaman akhir tahun lalu, menganggap Gulen adalah sosok ulama yang lewat ajarannya yang damai, dia berusaha maksimal menghormati kemanusiaan.

Gulen juga berulang kali menyatakan bahwa dia sangat mempercayai ilmu pengetahuan, dialog antaragama dan demokrasi multi-partai.

"Belajar fisika, matematika dan kimia sama dengan menyembah Tuhan," ujar Gulen berulang kali dalam berbagai dakwahnya.

Dia juga melakukan berbagai inisiatif dialog antaragama misalnya dengan Vatikan, gereja Ortodoks dan dengan beberapa organisasi Yahudi.

Mengasingkan diri

Gulen pensiun dari urusan dakwah pada 1981 meski kemudian pada 1988-1991 masih memberikan dakwah di beberapa masjid besar di Turki.

Meski memiliki banyak pengikut, Gulen tak berkomentar saat pemerintah Turki membubarkan partai-partai politik berhaluan Islam pada 1998-2001.

Di masa-masa itu, Gulen juga bertemu dengan sejumlah politisi seperti Tansu  Ciller (PM Turki 1993-1996) dan Bulent Ecevint (PM Turki 1999-2002), tapi dia menghindari pertemuan dengan para politisi berhaluan Islam.

Toh, Gullen harus meninggalkan Turki karena dianggap berupaya mendirikan negara Islam. Pada 1999 dia pergi ke AS dengan alasan untuk menjalani perawatan medis.

Banyak kalangan, langkah Gulen itu merupakan antisipasi upaya pemerintah menyeretnya ke pengadilan karena sejumlah pernyataan yang dianggap mendukung pendirian sebuah negara Islam.

Pada Juni 1999, setelah Gulen meninggalkan Turki, rekaman video dikirim ke sejumlah stasiun televisi yang isinya adalah salah satu pernyataan Gulen.

"Sistem yang ada saat ini masih berkuasa. Kawan-kawan kita yang memiliki kedudukan di badan legistlatif dan pemerintahan harus mempelajari sistem ini dan tetap siap setiap saat sehingga mereka bisa mengubah sistem ini agar lebih bermanfaat bagi Islam demi melaksanakan restorasi menyeluruh," kata Gulen dalam video itu.

"Namun, mereka harus menanti hingga kondisi benar-benar memungkinkan. Dalam kata lain, mereka jangan muncul terlalu cepat," tambah Gulen.

Gulen mengklaim, pernyataannya diartikan salah dan para pendukungnya mempertanyakan keaslian rekaman video tersebut yang disebut telah dimanipulasi.

Pemerintah Turki mengadili Gulen secara in absentia pada 2000, tetapi PM Erdogan dan partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang baru berkuasa membebaskan Gulen dari hukuman pada 2008.

Dan terbukti, saat itu, Gulen dan ribuan pengikutnya di Turki sangat bermanfaat bagi Erdogan sebelum menjadi musuh pemerintah Turki.

Beberapa pandangan Gulen

Gulen dikenal sebagai pengkritik sekularisme Turki. Namun, secara umum Gulen menganggap sekularisme yang tidak anti-terhadap agama dan memberi kebebasan seseorang untuk memeluk agama atau kepercayaan sejalan dengan ajaran Islam.

Menurut Gulen, di negeri-negeri demokratis dan sekuler justru 95 persen prinsi-prinsip ajaran Islam dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, kata Gulen, tak ada manfaatnya untuk memperjuangkan sisa yang hanya lima persen itu.

Gulen juga dikenal sangat mendukung upaya pemerintah Turki menjadi anggota Uni Eropa. Dia berulang kali mengatakan Uni Eropa dan Turki tak memiliki masalah untuk dikhawatirkan tetap justru banyak hal yang bisa diraih bersama.

Gulen juga dikenal sangat mengecam terorisme dan kekerasan terhadap warga sipil karena hal-hal semacam itu tak mendapatkan tempat di dalam Islam.

Dia menulis artikel di harian Washington Post sehari setelah tragedi 11 September di New York yang menewaskan ribuan orang.

Dalam artikel itu Gulen menyebut seorang Muslim tak bisa menjadi teroris dan seorang teroris bukan Muslim sejati. Dalam artikel yang sama dia juga mengecam apa yang disebutnya "pembajakan Islam" oleh para teroris.

Namun, ada beberapa pandangan Gulen yang bertentangan dengan pemerintah Turki salah satunya adalah soal insiden Mavi Marmara yang menewaskan para aktivis Turki.

Dia mengkritik, upaya pengiriman bantuan kepada penduduk Gaza tanpa sepengetahuan pemerintah Israel yang saat itu memblokade perairan di dekat wilayah kantung Palestina tersebut.

Gulen mengatakan, kematian para aktivis merupakan sebuah hal yang mengerikan tetapi kelalaian penyelenggara untuk memberitahu pemerintah Israel tak bisa diabaikan begitu saja.

"Itu adalah sebuah upaya mengabaikan pemerintah setempat dan hal semacam itu biasanya tidak akan berbuah kebaikan," kata Gulen saat itu.

Soal konflik Suriah, Gulen sangat menentang keterlibatan Turki di negeri yang dikoyak perang itu. Dia menolak keinginan pemerintah Turki menggulingkan Bashar al-Assad tetapi mendukung intervensi militer terhadap ISIS.

 

Kompas TV Pasca-kudeta, 8.777 Staf & 8.000 Polisi Dipecat

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com