Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Skenarionya Jika Rusia Benar-benar Menyerang NATO

Kompas.com - 08/11/2018, 17:06 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Pada 2107, Rusia menggelar latihan militer Zapad yang dilakukan sebagai bentuk unjuk kekuatan agar NATO menyadari negeri itu selalu siap untuk berperang.

Untuk mengurangi keresahan Barat, saat itu pemerintah Rusia mengatakan, latihan tersebut hanya merupakan persiapan operasi kontra-terorisme dan hanya diikuti 10.000 personel saja.

Namun, kenyataannya latihan itu akhirnya diikuti 100.000 personel dengan skenario invasi Rusia ke Eropa Timur.

Baca juga: Angkatan Laut Rusia Gelar Latihan di Perairan Mediterania

Pesannya jelas bahwa militer Rusia yang dulu perkasa kini sudah kembali. Latihan sejenis kembali digelar pada September 2018 dengan nama sandi Vostok.

Kali ini Rusia tak sendirian karena mengundang China dan Mongolia ikut serta dalam latihan yang diikuti 150.000 personel, 8.000 peralatan tempur, 600 pesawat tempur, dan 80 kapal perang.

Kembali Rusia mengatakan, latihan ini hanya sekadar untuk mengasah kemampuan manuver militer dan bukan persiapan sebuah invasi.

Meski demikian tetap saja, negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO khawatir suatu hari nanti Rusia akan melakukan invasi.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, militer Rusia mengalamai stagnasi. Meski secara ukuran masih cukup besar tetapi kemampuan tempurnya amat buruk.

Dua dekade setelah runtuhnya Uni Soviet tak ada perkembangan berarti di kemiliteran Rusia hingga puncaknya pada Perang Georgia-Rusia 2008.

Dalam perang lima hari itu, militer Rusia yang jauh lebih besar dibanding Georgia kesulitan untuk mendapatkan sejumlah tujuan obyektifnya.

Pengalaman di Georgia itu sungguh memalukan, sehingga Presiden Vladimir Putin bertekad untuk mengembalikan kejayaan militer Rusia.

Baca juga: Bulan Depan, Rusia Gelar Latihan Perang Bersama China dan Mongolia

Tekad itu berpuncak pada modernisasi militer selama 10 tahun yang hasilnya amat luar biasa.

Meski hingga saat ini kekuatan militer Rusia masih bergantung pada wajib militer, tetapi warga yang mendaftar secara sukarela untuk menjadi tentara terus bertambah.

Rusia juga mengembangkan teknologi tank dan pesawat-pesawat tempur baru. Hasilnya angkatan darat dan udara Rusia semakin kuat belakangan ini.

Titik lemah Rusia masih berada pada angkatan lautnya, tetapi jika perang pecah di Eropa maka perang laut amat kecil pengaruhnya.

Rusia juga meningkatkan kemampuannya dalam mengelola logistik militer, satu hal yang tak pernah menjadi "keahlian" Rusia sejak zaman Uni Soviet.

Baca juga: Marinir Rusia Gelar Latihan Militer di Suhu Minus 30 Derajat

Unit-unit angkutan berat untuk mengangkut kendaraan lapis baja ke garis depan lewat jalan raya telah mengurangi ketergantungan Rusia terhadap kereta api.

Hal ini amat menguntungkan Rusia, sebab jika perang pecah maka rel kereta api merupakan sasaran pertama untuk memutus jaringan logistik.

Rusia juga memperbaiki salah satu sektor yang secara tradisionallebih bagis dibanding NATO yaitu persenjataan anti-serangan udara.

Kemunculan sistem pertahanan udara S-400 dan nantinya S-500 membuat para perancang strategi perang NATO harus berpikir keras.

Sebab dengan jangkauan tembak hingga 400 kilometer, satu baterai unit S-400 bisa mengancam daerah yang amat luas di Eropa.

Rusia juga banyak menginvestasikan dana untuk modernisasi kekuatan nuklir non-strategisnya yang bahkan dalam hal ini Rusia mengalahkan Amerika Serikat.

Investasi Rusia dalam pengembangan sistem logistik, unit-unit pertahanan udara yang mematikan, dan kekuatan misil nuklir yang terus ditingkatkan jelas-jelas menunjukan niat negeri itu.

Sehingga latihan militer Zapad 2017 dan Vostok 2018 menunjukan Rusia memang dalam kesiapan penuh untuk melakukan invasi ke Eropa Timur.

Pertanyaannya, apakah Rusia akan benar-benar melakukan invasi?

Baca juga: Rusia Gelar Parade Angkatan Laut Besar-besaran

Saat ini NATO memiliki 2 juta personel militer aktif sementara Rusia "hanya" kurang lebih 1 juta orang.

NATO juga memiliki angkatan udara dengan total jumlah 13.000 pesawat terdiri atas jet tempur hingga pengebom. Sedangkan, jumlah pesawat tempur Rusia jauh di bawah yaitu hanya 3.914 unit saja.

Namun, di darat Rusia memiliki keuntungan karena memiliki lebih dari 20.000 unit tank sedangkan NATO hanya diperkuat 10.000 tank.

Sayangnya, dari jumlah tank yang amat banyak itu, karena Rusia masih memasukkan ribuan tank buatan era Uni Soviet.

Kerugiannya, jika perang pecah tank-tank kuno ini butuh waktu berpekan-pekan untuk dibenahi agar siap bertarung.

Baca juga: Hadapi NATO, Rusia Kerahkan Tentara ke Perbatasan Baltik

Dan, meski sudah dianggap siap bertarung, tank-tank kuno ini kalah kelas dan persenjataan dibanding tank-tank modern milik NATO.

Di sisi lain, meski NATO memiliki superiorita s teknologi dan jumlah personel serta peralatan tempur, tetapi ada dua kelemahan besar di tubuh NATO.

Pertama, kekuatan militer NATO amat tergantung pada Amerika Serikat yang meski memiliki doktrin yang mampu memenangkan perang di dua front sekaligus tetapi mereka berada jauh dari Eropa.

Kekuatan terbesar militer AS tetap berada di negaranya, di seberang Samudera Atlantik.

Sehingga jika perang melawan Rusia pecah, maka pasukan AS di Eropa akan melakukan taktik defensif sambil menunggu bantuan dari "kampung halaman" yang bisa memakan waktu beberapa pekan.

Kelemahan kedua NATO adalah buruknya komitmen negara-negara anggotanya, terutama yang berada di Eropa, dalam pembiayaan aliansi ini.

Dari 29 anggota, hanya delapan negara yang menganggarkan dua persen dari GDP untuk kepentingan militernya.

Baca juga: Obama Jamin Solidaritas AS untuk Negara Baltik

Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan komitmen di antara negara-negara anggota aliansi militer ini.

Meski banyak faktor yang memicu buruknya komitmen ini, banyak pengamat menilai anggota NATO sudah terlalu nyaman berada di dalam lindungan global AS.

Tak hanya masalah pendanaan yang bisa melemahkan NATO, perpecahan aliansi ini juga dipicu pernyataan Presiden Donald Trump.

Berbagai pernyataan Trump memicu pertanyaan terkait komitmen AS terkait pasal 5 perjanjian NATO yang menyebut serangan terhadap satu negara anggota adalah serangan terhadap seluruh anggota NATO.

Di saat sebagian besar rakyat AS mendukung sekutu AS jika terjadi perang, tetapi semuanya tetap menjadi keputusan presiden.

Baca juga: Putin: Jika Diserang, Rusia Bakal Gunakan Senjata Nuklir

Setelah pencaplokan Smeenanjung Crimea dan keterlibatan dalam konflik Ukraina pada 2014, NATO menambah kekuatannya di tiga negara Baltik yaitu Estonia, Latvia, Lithuania, plus Polandia.

NATO menempatkan empat batalion multinasional di keempat negara itu secara permanen dengan basis rotasi.

Sebagai  anggota NATO paling rapuh, keempat negara itu sudah lama khawatir akan meningkatnya niat agresi militer Rusia.

Keempat negara ini juga tahu, jika perang pecah maka merekalah yang paling pertama harus menghadapi kekuatan militer Rusia.

Sebab, jika perang pecah maka Rusia akan langsung mengerahkan militernya melintasi Belarus memasuki Estonia, Latvia, dan Lithuania sambil menjepit Polandia untuk kemudian masuk ke Eropa Barat.

Pasukan Rusia akan menyerang melalui "Celah Suwalki" sebuah wilayah NATO sepanjang 96 kilometer yang terhubung dengan daerah kantong Rusia, Kaliningrad dan Belarus.

Dengan menekan Polandia dan melancarkan serangan misil jarak jauh terhadap fasilitas NATO di Jerman, Rusia bisa menunda semua respon NATO terhadap serangan di Baltik.

Celakanya bagi ketiga negara Baltik itu, kondisi geografis Eropa Timur yang datar membuat operasi defensif amat sulit dilakukan, terutama menghadapi serbuan tank-tank Rusia.

Terpotong dari bantuan NATO, ketiga negara Baltik itu tak akan bertahan lama melawan Rusia.

Baca juga: Antisipasi Agresi Rusia, NATO Kirim 4.000 Tentara ke Kawasan Baltik dan Polandia

Beberapa pekan setelah perang pecah, barulah pasukan AS dalam jumlah besar tiba di Eropa dan barulah saat itu NATO bisa melakukan serangan balik.

Saat itulah, Rusia akan menggelar fase kedua strateginya yaitu serangan nuklir.

Sehingga semua respon NATO harus mempertimbangkan kemungkinan penggunaan senjata nuklir ini.

Sebab, jika NATO sudah sepenuhnya bisa memobilisasi pasukannya maka Rusia akan kesulitan memenangkan perang dengan cara konvensional.

Salah satu alasannya adalah perekonomian negara-negara NATO jauh lebih bagus ketimbang Rusia.

Baca juga: AS Diminta Bangun Pangkalan Militer Permanen di Polandia

Perang jangka panjang akan amat merusak perekonomian Rusia sehingga negeri itu tak punya pilihan lain selain menggunakan senjata nuklirnya.

Namun, serangan nuklir akan memicu balasan serupa dari NATO. Rusia dengan persenjataanuklirnya akan mengincar fasilitas militer NATO dengan harapan mengurangi kemampuan serangan balasan NATO.

Dan, meski NATO juga akan membalas dengan mengincar fasilitas militer Rusia dengan senjata nuklir yang jelas kehancuran dunia sudah di depan mata.

Semua kemungkinan ini pasti sudah dikalkulasi pemerintah Rusia sehingga kemungkinan negara itu hanya akan menggelar serangan singkat dan agresif untuk merebut negara-negara Baltik.

Setelah berhasil merebut ketiga negara Baltik, Rusia akan memperkuat posisi tawarnya dan mengancam akan menggunakan senjata nuklir.

Tetapi, di saat yang sama Rusia akan mendorong NATO untuk meneken perjanjian damai ketimbang meningkatkan eskalasi konflik yang berpotensi memicu kehancuran dunia.

Jika perdamaian tercapai maka keuntungan ada di tangan Rusia karena mendapatkan wilayah yang luas.

Baca juga: Polandia Beli Sistem Rudal Patriot dari AS Seharga Rp 64 Triliun

Selain itu Rusia juga memenangkan pertarungan politik dengan menghancurkan prinsip dasar NATO yang dulu berjanji untuk bertarung melindungi semua negara anggotanya.

Jika hal ini terjadi maka kemungkinan akan memicu perpecahan NATO atau setidaknya menghancurkan kepercayaan negara-negara anggota dan melemahkan kekuatan Barat yang merupakan tujuan utama Rusia selama ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com