Pemimpin utama revolusi itu sebenarnya adalah Jenderal Mohammad Neguib tetapi dia tak memiliki kemampuan yang mumpuni sehingga dia kehilangan dukungan dari para perwira muda.
Akhirya, pada 17 November 1954, Neguib mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Nasser yang selama ini sudah menjadi wakilnya.
Setelah memimpin Mesir, Nasser memiliki visi yang amat jernih dalam memodernkan Mesir dengan mengidentifikasi lima prioritas utamanya.
Baca juga: Konflik Israel-Palestina (8): Palestina Usai Perang Arab-Israel 1948
Mulai dari menghapus kemiskinan, memperbaiki infrastruktur, dan membebaskan Mesir dari segala bentuk kolonialisme.
Tekadnya membebaskan Mesir dari kolonialisme inilah yang membawa Nasser berhadapan langsung dengan Inggris dan Perancis pada 1956.
Kedua negara ini memegang kendali atas Terusan Suez. Hal inilah yang dinilai Nasser sebagai bentuk kolonialisme di Mesir.
Inggris memegang 40 persen saham perusahaan yang mengendalikan terusan yang sibuk itu tetapi keuntungan yang dirasakan rakyat Mesir amat minim.
Pada 1956, Nasser memutuskan untuk menasionalisasi Terusan Suez yang memicu serangan militer Inggris dan Perancis.
Aksi militer Inggris dan Perancis itu dikecam dunia internasional yang akhirnya membuat kedua negara harus mundur karena jelas-jelas AS tidak mendukung langkah mereka.
Bahkan, Presiden AS Dwight Eisenhower secara terbuka mengecam petualangan militer Inggris dan Perancis di Mesir.
Keteguhan Nasser menghadapi dua kekuatan utama Eropa itu membuat popularitasnya meroket tak hanya di Mesir tetapi di seluruh negara-negara Arab.
Sukses di medan perang dan dunia politik, Nasser kini mengarahkan perhatiannya ke masalah dalam negeri.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Liga Arab Terbentuk
Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah banjir tahunan dari Sungai Nil yang menghancurkan tanaman pangan milik rakyat.
Untuk mengatasi itu, Nasser berencana membangun bendungan yang tak hanya bisa mengendalikan banjir tetapi juga menjadi sumber listrik bagi Mesir.