Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser Wafat

Kompas.com - 28/09/2018, 12:59 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Salah satu nama yang amat dikenal dalam dunia politik Timur Tengah adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang hari ini, 28 September 1970, meninggal dunia.

Popularitas Nasser meroket di dunia Arab setelah dia menasionalisasi Terusan Suez yang dilanjutkan kemenangannya dalam krisis Suez atau Perang Arab-Israel kedua.

Popularitasnya ini membuat Nasser dengan mudah menyerukan persatuan pan-Arab yang berpuncak dengan pembentukan Republik Persatuan Arab dengan Suriah dari 1958-1961.

Setelah serangkaian kesuksesan di dunia politik, Nasser sempat mengundurkan diri dari jabatannya usai kekalahan Mesir dari Israel dalam Perang Enam Hari 1967.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kudeta Militer di Mesir

Namun, dia kembali ke tampuk kekuasaan setelah unjuk rasa rakyat yang memintanya tidak meninggalkan kursi kepresidenan.

Nasser lahir pada 15 Januari 1918 di Bakos, Alexandria, Mesir. Ayahnya, Abdel Nasser Hussein adalah seorang pekerja pos dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.

Ketertarikan Nasser dalam dunia politik sudah terlihat sejak berusia belia. Dalam usia 15 tahun dia sudah terlibat unjuk rasa anti-Inggris.

Para pengunjuk rasa juga menentang keluarga kerajaan Mesir yang diyakini mendukung kekuasaan Inggris dengan mengizinkan negeri itu ikut memiliki Terusan Suez.

Sejumlah warga Mesir menilai beberapa keluarga kerajaan memilih tetap mendukung Inggris selama negeri itu tak mencoba melemahkan kekuasaan keluarga kerajaan Mesir.

Pada 1937, Nasser mendaftarkan diri ke akademi militer Mesir tetapi catatan kepolisian terkait aksi-aksinya menentang pemerintah membuatnya gagal menjadi tentara.

Kecewa, Nasser kemudian masuk ke fakultas hukum Universitas Raja Fuad tetapi keluar satu semester untuk mencoba kembali masuk ke akademi militer.

Nasser yang di masa mudanya kerap menyuarakan tentang martabat dan kejayaan bangsa serta kebebasan kemudian terpukau dengan kisah-kisah heroik para pahlawan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Perang Empat Hari Libya dan Mesir

Alhasil, dia kemudian menjadikan cita-cita militernya menjadi prioritas. Pada 1938, Nasser lulus dari akademi militer dan bergabung dengan angkatan darat.

Meski sudah bergabung di militer, Nasser tetap melanjutkan aktivitas anti-Inggrisnya.

Pada 1942 sebuah insiden terjadi yang disebut-sebut sebagai titik balik dalam aktivitas Nasser.

Pada Februari 1942, Inggris mendesak Raja Faruk untuk menerima pemerintahan yang dipimpin Nahas Pasha.

Saat itu, kekuasaan Inggris di Afrika Utara sedang mencapai puncak kejayaannya dengan kekalahan Afrika Korps Jerman dan kekuasaan Inggris ini amat terasa di Mesir.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pembangunan Terusan Suez Dimulai

Nasser merasa jengkel karena dia menilai sebuah kekuatan kolonial Eropa, dalam hal ini Inggris, mencampuri urusan dalam negeri Mesir.

Nasser tak mau tinggal diam. Sehingga selama tujuh tahun berikutnya dia menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan para perwira militer agar menolak intervensi Inggris dan menyingkirkan semua kelompok yang mendukung pengaruh Inggris.

Saat itu, Nasser bertugas sebagai intruktur di Sekolah Staff Angkatan Darat Mesir. Posisi ini memberinya akses langsung kepada para perwira muda yang wawasannya jauh lebih terbuka ketimbang para perwira senior.

Pada 1948, perang melawan Mesir yang baru terbentuk pecah. Situasi ini memberinya kesempatan lebih banyak bertemu dengan para perwira yang mendukung idenya tentang Mesir.

Kekalahan negara-negara Arab dalam perang 1948, semakin memicu kemarahan para perwira ini karena AD Mesir harus berperang dengan menggunakan persenjataan yang amat buruk.

Hal ini dikaitkan dengan skandal yang melibatkan sejumlah anggota keluarga kerajaan Mesir.

Saat itulah, tekad Nasser untuk menyingkirkan keluarga kerajaan Mesir dan membentuk sebuah pemeirntahan baru makin kuat.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Israel Serang Mesir, Awali Perang Enam Hari

Dan, Nasser amat yakin satu-satunya yang bisa mewujudkan rencananya adalah angkatan darat.

Akhirnya pada 23 Juli 1952, Nasser terlibat dalam mengorganisasi revolusi terhadap pemerintah dan Raja Farouk bisa digulingkan lewat kudeta tak berdarah.

Pemimpin utama revolusi itu sebenarnya adalah Jenderal Mohammad Neguib tetapi dia tak memiliki kemampuan yang mumpuni sehingga dia kehilangan dukungan dari para perwira muda.

Akhirya, pada 17 November 1954, Neguib mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Nasser yang selama ini sudah menjadi wakilnya.

Setelah memimpin Mesir, Nasser memiliki visi yang amat jernih dalam memodernkan Mesir dengan mengidentifikasi lima prioritas utamanya.

Baca juga: Konflik Israel-Palestina (8): Palestina Usai Perang Arab-Israel 1948

Mulai dari menghapus kemiskinan, memperbaiki infrastruktur, dan membebaskan Mesir dari segala bentuk kolonialisme.

Tekadnya membebaskan Mesir dari kolonialisme inilah yang membawa Nasser berhadapan langsung dengan Inggris dan Perancis pada 1956.

Kedua negara ini memegang kendali atas Terusan Suez. Hal  inilah yang dinilai Nasser sebagai bentuk kolonialisme di Mesir.

Inggris memegang 40 persen saham perusahaan yang mengendalikan terusan yang sibuk itu tetapi keuntungan yang dirasakan rakyat Mesir amat minim.

Pada 1956, Nasser memutuskan untuk menasionalisasi Terusan Suez yang memicu serangan militer Inggris dan Perancis.

Aksi militer Inggris dan Perancis itu dikecam dunia internasional yang akhirnya membuat kedua negara harus mundur karena jelas-jelas AS tidak mendukung langkah mereka.

Bahkan, Presiden AS Dwight Eisenhower secara terbuka mengecam petualangan militer Inggris dan Perancis di Mesir.

Keteguhan Nasser menghadapi dua kekuatan utama Eropa itu membuat popularitasnya meroket tak hanya di Mesir tetapi di seluruh negara-negara Arab.

Sukses di medan perang dan dunia politik, Nasser kini mengarahkan perhatiannya ke masalah dalam negeri.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Liga Arab Terbentuk

Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah banjir tahunan dari Sungai Nil yang menghancurkan tanaman pangan milik rakyat.

Untuk mengatasi itu, Nasser berencana membangun bendungan yang tak hanya bisa mengendalikan banjir tetapi juga menjadi sumber listrik bagi Mesir.

Celakanya Mesir tak punya cukup uang untuk membangun bendungan itu. Inggris dan Perancis tak mungkin dimintai bantuan.

Sementara mendekati Amerika Serikat, yang secara terbuka mendukung Israel, bisa menjadi blunder politik bagi Nasser.

Alhasil, Nasser berpaling ke musuh bebuyutan Amerika Serikat yaitu Uni Soviet yang langsung menyediakan dana, teknologi, dan para insinyurnya.

Proyek bendungan ini menciptakan sebuah persekutuan unik antara Mesir dan Uni Soviet.

Baca juga: Sedikitnya 100 Orang Tewas di Semenanjung Sinai

Di satu sisi mesir adalah sebuah negara Muslim sementara Uni Soviet adalah negeri komunis yang melarang semua bentuk agama dan ritualnya.

Meski demikian, Nasser berpikir pragmatis karena menurutnya Uni Soviet bisa memberikan apa yang dibutuhkan Mesir setelah Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (BRD) menarik dukungan finansialnya pasca-krisis 1956.

Sementara bagi Rusia, persekutuan dengan Mesir memberi negeri itu pjakan di Laut Tengah. Sebab armada Laut Hitam Soviet "terjebak" di Laut Hitam dan pergerakannya amat mudah diketahui Amerika.

Sehingga, Mesir memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi Uni Soviet itu.

Pada 1961, Nasser menasionalisasi sejumlah perusahaan sehingga pendapatan perusahaan-perusahaan itu bisa dirasakan lebih merata bagi rakyat Mesir.

Setahun kemudian, Nasser memutuskan untuk menjalankan sistem sosialis di negeri yang dipimpinnya itu.

Di masa kepemimpinannya pula bendungan Aswan selesai dibangun dan langsung mendapat perhatian luas dari dunia.

Selain itu pabrik pengolahan besi, baja, dan alumunium dibangun. Sederet pabrik pengolahan makanan dan otomotif juga berdiri.

Secara keseluruhan sebanyak 2.000 pabrik baru berdiri di masa pemerintahan Nasser.

Sayangnya, Nasser mendapat pukulan telak saat Mesir dan beberapa negara Arab sekutunya dikalahkan Israel dalam Perang Enam Hari 1967.

Kekalahan itu bagi Nasser amat menyakitkan karena dirinya tengah dianggap sebagai pemimpin dunia Arab  dan bangsa Arab amat mengharapkan kepemimpinan Mesir.

Malu akan kekalahannya, Nasser berniat mengundurkan diri dari jabatannya tetapi rakyat menolak niat itu dengan turun ke jalan pada Juni 1967 untuk memberi dukungan kepada sang presiden.

Urung mundur, Nasser kemudian semakin fokus untuk memperkuat militer Mesir yang tetap menjadi prioritasnya hingga dia wafat pada 28 September 1970.

Baca juga: Seorang Pria Berupaya Meledakkan Bom di Luar Kedubes AS di Mesir

Kematiannya ditangisi jutaan rakyat Mesir yang amat mencintainya. Kursi kepresidenan kemudian diisi Anwar Sadat yang sebelumnya menduduki jabatan wakil presiden.

Di bawah Sadat, Mesir kembali berhadapan dengan  Israel dalam Perang Yom Kippur sebelum akhirnya memutuskan berdamai dengan negeri Yahudi itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com