Di bawah konstitusi yang dirancang Amerika Serikat, Jepang menjadi monarki konstitusional dengan mempertahankan Kaisar sebagai "simbol negara" yang dilarang terlibat dalam politik.
"Dipertahannya sistem kekaisaranmembuat Hirohito tak pernah mempertanggungjawabkan perannya dalam perang," papar Nomura.
Di tahun-tahun pemerintahan Hirohito, perasaan anti-monarki mulai dimunculkan. Para radikal sayap kiri sesekali melakukan serangan kecil terhadap tempat-tempat yang dikaitkan dengan kaisar.
Baca juga: Mengenal Naruhito, Kaisar Baru Jepang yang Humoris dan Piawai Bermain Biola
Namun, Akihito, yang lengser dari tahta karena usia dan kondisi kesehatannya, sukses menjadikan keluarga kerajaan sebagai simbol perdamaian setelah naik tahta pada 1989.
Kini dengan menyandang gelar Kaisar Emeritus, Akihito baru berusi 11 tahun saat ayahnya mengumumkan kekalahan Jepang di radio.
Saat itulah, sebagian besar rakyat Jepang baru pertama kali mendengar suara kaisar mereka lewat radio.
"Masalah utama Akihito adalah menutup masa pasca-perang dengan mengobati luka yang diakibatkan kekalahan perang," kata Ken Ruoff, diretur Pusat Studi Jepang di Universitas Portland, Oregon.
"Akihito berusaha keras untuk memperbaiki hubungan Jepang dengan negara-negara yang pernah diinvasi negeri itu," tambah Ruoff.
Pada 1975, Akihito yang masih berstatus putra mahkota pergi ke Okinawa bersama istrinya Michiko.
Okinawa adalah salah satu medan Perang Dunia II paling berdarah di Jepang karena menewaskan lebih dari 100.000 warga sipil.
Baca juga: Keluarga Kekaisaran Jepang Makin Susut, Menyisakan Dua Penerus Takhta
Di Okinawa, Akihito dan Michiko diserang sejumlah aktivis tetapi mereka tidak mengalami luka.
Akihito juga mengunjungi negara-negara yang pernah hancur dalam Perang Dunia II termasuk China dan Indonesia dan mengajak rakyat Jepang mengingat kengerian perang.