Salin Artikel

Hantenren, Komunitas Kecil Penentang Monarki Jepang

Di pinggiran kota Tokyo, sekelompok kecil warga berkumpul, membawa spanduk, dan meneriakkan berbagai yel-yel.

"Jangan lupakan tanggung jawab Kaisar dalam perang," demikian sekelompok orang itu berteriak sambil berjalan menuju ke sebuah taman.

Kelompok yang  terdiri atas sebagian besar orang berambut kelabu itu merupakan sebuah kumpulan warga Jepang yang meski berjumlah kecil tapi amat vokal.

Sekelompok kecil warga Jepang ini menyuarakan pendapat sudah saatnya negeri itu mengakhiri sistem monarki.

Jepang mengklaim sebagai negara dengan sistem monarki tertua. Menurut legenda, keluarga kerajaan adalah keturunan dewi matahari Amaterasu.

Hingga berakhirnya Perang Dunia II, warga Jepang masih menganggap kaisar adalah sosok dewa yang hidup.

Han Tennosei Undo Renraku Kai (Jaringan Kegiatan Anti-Kaisar) atau disingkat Hantenren menyerukan penghapusan monarki selama lebih dari tiga dekade.

Menurut mereka penghapusan monarki adalah satu-satunya cara Jepang menebus dosa dalam perang yang selalu membawa nama Kaisar pada 1930-an hingga 1940-an.

"Perang tidak berakhir dengan benar," kata Nomura, seorang anggota Hantenren kepada BBC.

Nomura meminta agar nama keluarganya tidak dipublikasikan karena khawatir akan serangan dari kelompok sayap kanan.

Duduk di ruang kerjanya yang kecil di pusat kota Tokyo, Nomura mengatakan, Kaisar Hirohito adalah seorang penjahat perang yang melakukan kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II.

"Hirohito memiliki perhatian besar dalam kemiliteran. Dia hanya takut berperang dengan AS dan Inggris, karena dia tahu militer Jepang tak bisa mengimbangi kedua negara itu," ujar Nomura.

"Namun, dia tak ragu untuk mengobarkan perang di Asia," tambah dia.

Setelah Jepang kalah perang, Hirohito yang menduduki tahta dari 1926-1989, melepaskan status keilahiannya.

"Dipertahannya sistem kekaisaranmembuat Hirohito tak pernah mempertanggungjawabkan perannya dalam perang," papar Nomura.

Di tahun-tahun pemerintahan Hirohito, perasaan anti-monarki mulai dimunculkan. Para radikal sayap kiri sesekali melakukan serangan kecil terhadap tempat-tempat yang dikaitkan dengan kaisar.

Namun, Akihito, yang lengser dari tahta karena usia dan kondisi kesehatannya, sukses menjadikan keluarga kerajaan sebagai simbol perdamaian setelah naik tahta pada 1989.

Kini dengan menyandang gelar Kaisar Emeritus, Akihito baru berusi 11 tahun saat ayahnya mengumumkan kekalahan Jepang di radio.

Saat itulah, sebagian besar rakyat Jepang baru pertama kali mendengar suara kaisar mereka lewat radio.

"Masalah utama Akihito adalah menutup masa  pasca-perang dengan mengobati luka yang diakibatkan kekalahan perang," kata Ken Ruoff, diretur Pusat Studi Jepang di Universitas Portland, Oregon.

"Akihito berusaha keras untuk memperbaiki hubungan Jepang dengan negara-negara yang pernah diinvasi negeri itu," tambah Ruoff.

Pada 1975, Akihito yang masih berstatus putra mahkota pergi ke Okinawa bersama istrinya Michiko.

Okinawa adalah salah satu medan Perang Dunia II paling berdarah di Jepang karena menewaskan lebih dari 100.000 warga sipil.

Di Okinawa, Akihito dan Michiko diserang sejumlah aktivis tetapi mereka tidak mengalami luka.

Akihito juga mengunjungi negara-negara yang pernah hancur dalam Perang Dunia II termasuk China dan Indonesia dan mengajak rakyat Jepang mengingat kengerian perang.

Namun di dalam negeri, di bawah Kaisar Akihito keluarga kerajaan Jepang menjadi amat populer di mata warga.

Berbagai survey menunjukkan 70-80 persen warga Jepang mendukung dipertahannya monarki.

Sementara itu, di kantornya di Tokyo, Nomura mengaku kelompoknya semakin kehilangan pendukung selama beberapa tahun terakhir.

Pada 1980-an, sebuah aksi unjuk rasa Hantenren bisa dihadiri sedikitnya 3.000 orang. Namun, kini Hatenren kesulitan mencari darah baru.

Saat berunjuk rasa pada Senin pekan lalu, hanya 80 pengunjuk rasa yang muncul.

Jumlah mereka bahkan kalah jauh dibanding polisi yang bertugas untuk mengamankan aksi ini.

Tak hanya itu, aksi Nomura dan kawan-kawannya juga tak begitu diperhatikan warga yang lalu lalang.

Nomura mengakui, memperjuangkan sesuatu yang tak populer memang sulit, Namun, amat penting untuk mengedukasu publik soal masalah yang bisa dimunculkan monarki.

"Jepang saat ini tengah berada dalam krisis identitas nasional karena perekonomian menurun," kata Nomura.

"Pemerintahan Shinzo Abe dan sayap kapan percaya kaisar memberi legitimasi kepada mereka," tambah Nomura.

Nomura melanjutkan, dia bertekad untuk meneruskan kegiatan ini untuk 10 tahun lagi selama kondisi kesehatannya memungkinkan.

Sayangnya dia menghadapi tantangan berat. Sebab, garis kekaisaran Jepang bisa dilacak hingga 2.000 tahun lalu dan peran kaisar amat kuat dalam berbagai aspek budaya Jepang.


https://internasional.kompas.com/read/2019/05/03/12131741/hantenren-komunitas-kecil-penentang-monarki-jepang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke