Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mungkinkah Unifikasi Kedua Korea Menjadi Kenyataan?

Kompas.com - 27/04/2018, 19:05 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

Sumber

KOMPAS.com - Sebuah pertemuan bersejarah Korea Utara dan Selatan telah digelar di desa perbatasan Panmunjom, Jumat (27/4/2018).

Pemimpin kedua negara juga telah menyepakati beberapa hal termasuk upaya bersama untuk mengakhiri Perang Korea dan menciptakan perdamaian abadi.

Banyak pihak berharap pertemuan ini bisa berujung perdamaian dan jika memungkinkan unifikasi dua Korea.

Terkait unifikasi, bisakah kedua Korea yang sudah terbelah sejak 1953?

Baca juga : Korea Utara dan Korea Selatan Siap Akhiri Perang Tahun Ini

Sebagian warga Korea Selatan sebenarnya tak terlalu optimistis tentang reunifikasi. Setidaknya demikian hasil Survei Persepsi Unifikasi 2017 yang digelar Institut Studi Unifikasi dan Perdamaian Universitas Nasional Seoul.

Hasil survei menunjukkan 24,7 persen warga Korsel berpikir unifikasi adalah hal yang mustahil. Hanya 2,3 persen warga Negeri Ginseng yang yakin unifikasi bisa terjadi dalam waktu lima tahun.

Sedangkan sebanyak 13,6 persen responden yakin unifikasi kedua Korea bisa terjadi dalam waktu 10 tahun.

Di sisi lain, dalam survey yang  sama 53,8 persen warga Korea Selatan memiliki pendapat bahwa reunifikasi amat penting untuk diupayakan.

Sayangnya, sejauh ini tak ada konsensus apapun terkait seperti apa bentuk negara Korea bersatu kelak.

Hampir separuh warga Korea Selatan menginginkan sistem politik demokrasi yang selama ini mereka jalani.

Baca juga : Ini Pesan Kim Jong Un di Buku Tamu KTT Antar-Korea di Panmunjom

Sedangkan 37,7 persen mendukung kompromi yang menggabungkan sistem politik Korea Utara dan Selatan.

Sedangkan 13,5 persen respondon menjawab mereka memilih untuk melanjutkan dua sistem politik dalam satu negara.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) and Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (R) berpose di depan sebuah prasasti bertuliskan Perdamaian dan Kemakmuran sedang Ditanam setelah keduanya menanam sebatang pohon di dekat garis demarkasi yang membagi kedua negara, Jumat (27/4/2018). AFP/KOREA SUMMIT PRESS POOL Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) and Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (R) berpose di depan sebuah prasasti bertuliskan Perdamaian dan Kemakmuran sedang Ditanam setelah keduanya menanam sebatang pohon di dekat garis demarkasi yang membagi kedua negara, Jumat (27/4/2018).
Upaya pertama pembicaraan damai kedua Korea pasca-Perang 1950-1953 digelar pada 1971.

Saat itu, kedua Korea menyepakati prinsip-prinsip dasar untuk menuju reunifikasi yang harus ditempuh lewat tiga cara.

Ketiga cara itu adalah upaya independen kedua Korea, langkah-langkah damai, dan mempromosikan persatuan nasional serta menghilangkan perbedaan dalam ideologi dan sistem.

Meski persetejuan sudah diteken, namun kesepakatan ini dengan cepat ambruk karena minimnya niat tulus para pemimpin kedua negara untuk menindaklanjuti langkah yang sudah diambil.

Baca juga : Kim Jong Un Tak Sangka Garis Perbatasan Korea Begitu Mudah Dilalui

Korea Utara memandang dialog antara kedua negara adalah cara untuk menjauhkan Korea Selatan dari AS dan Jepang.

Sementara pemimpin Korea Selatan saat itu Park Chung-hee melihat dialog itu sebagai jalan untuk mengonsolidasikan pemerintahan otoriternya.

Pada 1980-an, terjadi perubahan di saat Perang Dingin pecah dan rekonsiliasi Korea untuk sekali lagi nampak amat berpeluang.

Olimpiadi Seoul 1988 menjadi pendorong Korea Selatan untuk meningkatkan hubungannya dengan Korea Utara dengan memastikan negara itu berpartisipasi dalam Olimpiade.

Olimpiade Seoul dikenang sebagai ajang olahraga yang paling banyak diikuti negara-negara kedua blok yang terlibat perang dingin, termasuk Uni Soviet dan China.

Namun, momen tum baik itu tercoreng ketika Korea Utara meledakkan pesawat milik maskapai penerbangan Korea Selatan yang menewaskan 115 orang pada 1987.

Dengan status internasional Korea Selatan yang sedang "moncer" saat itu serta diplomasi aktif menuju normalisasi hubungan dengan Uni Soviet dan China, Pyongyang bersedia berunding dengan Seoul.

Pada 1991, kedua Korea sekali lagi bertemu untuk mebahas rekonsiliasi dan menandatangai Kesepakatan Dasar.

Baca juga : AS Berharap Pertemuan Dua Korea Hasilkan Perdamaian

Dalam kesepakatan itu ditegaskan hubungan kedua Korea bukan merupakan hubungan dua negara berbeda tetapi satu negara melalu sebuah "proses khusus" menuju reunifikasi.

Pada 1992, kedua negara mendeklarasikan penandatangan Deklarasi Bersama tentang Nuklirisasi Semenanjung Korea.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) ketika berbicara dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae In saat Konferensi Tingkat Tinggi di Panmunjom Jumat (27/4/2018).Yonhap via Korea Herald Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) ketika berbicara dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae In saat Konferensi Tingkat Tinggi di Panmunjom Jumat (27/4/2018).
Namun, pada akhir 1992 hubungan kedua Korea menegang. Korea Utara menolak inspeksi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan mengecam gelaran latihan militer besar AS-Korea Selatan.

Pembicaaran berikutnya terjadi pada 2000, ketika kedua negara menggelar KTT pertama yang menghasilkan kesepakatan paling substansial yang pernah ada.

Dua presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun sama-sama mengingingkan perubahan bertaham Korea Utara menuju reunifikasi melalui kerjasama dalam hal kemanusiaan, ekonomi, politik, sosial, dan isu-isu lain.

Namun, karena dihadapkan pada provokasi Pyongyang dan program pengembangan nuklir, maka kebijakan yang dibuat kedua presiden Korsel ini memilili banyak keterbatasan.

Baca juga : Pagi Ini, Dua Pemimpin Korea Berjumpa dalam Pertemuan Bersejarah

Ditambah perilaku Pyongyang yang semakin memperburuk hubungan kedua negara. Uji coba muklir dan misil ditambah provokasi seperti serangan torpedo terhadap kapal AL Korea Selatan dan pengeboman sebuah pulau di Korsel merusak semua hasil pembicaraan yang dicapai sebelum KTT 2000.

Lalu, dengan serangkaian kegagalan itu, apakah reunifikasi kedua Korea bisa terlaksana setelah KTT 2018?

Apa yang terjadi di masa lalu menunjukkan rekonsiliasi tak bisa terwujud tanpa proses eliminasi kemampuan nuklir Korea Utara.

Di saat yang sama, pemimpin Korsel saat ini Moon Jae-in jauh lebih terbuka untuk meninggalkan cara-cara konservatif dan mencoba mengejar kesepakatan tanpa berbagai syarat.

Langkah ini mungkin bisa mengubah segalanya. Tak perlu diragukan, Moon Jae-in lebih proaktif dalam menciptakan peluang untuk rekonsiliasi kedua Korea.

Sejauh ini upaya Presiden Moon cukup sukses untuk "menggiring" Korea Utara kembali ke meja perundingan bahkan menjadikan Kim Jong Un pemimpin Korut pertama yang menginjakkan kaki di Selatan usai Perang Korea.

Baca juga : Semut Pun Tak Akan Lolos dari Pasukan Pengawal Kim Jong Un

Lebih jauh, kedua negara sepakat untuk melanjutkan proses denuklirisasi dan janji itu tertuang dalam "Deklarasi Panmunjom" yang diteken kedua pemimpin.

Apakah pembicaraan bersejarah ini akan berlanjut menjadi sebuah unifikasi kedua Korea? Jalan  menuju bersatunya Korea masih panjang namun setidaknya langkah pertama sudah diambil dan kini dunia hanya bisa menunggu di garis finish. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com