Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meral Aksener, Perempuan yang Mencoba Melawan Erdogan

Kompas.com - 02/04/2017, 12:32 WIB

ISTANBUL, KOMPAS.com - "Mereka semua berbicara soal Erdogan. Bagaimana jika saya adalah presiden Turki berikutnya?" tanya Meral Aksener.

Aksener bukan wajah asing di panggung politik Turki. Ia pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dan sebagai politisi nasional, namanya sudah beredar selama lebih dari 20 tahun.

Ia adalah tokoh sentral di kubu yang berseberangan dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang saat ini tengah aktif berkampanye menjelang referendum konstitusi pada 16 April.

Dalam referendum ini, para pemilih akan memutuskan perubahan undang-undang dasar yang nantinya akan menjadi dasar hukum sistem presidensial di Turki.

Pada intinya referendum ini akan memberi kewenangan eksekutif yang lebih luas bagi presiden.

"Di sistem parlementer ada kontrol atau check and balances. Di (sistem presidensial) ini tidak ada mekanisme pengawasan tersebut," kata Aksener mengomentari rancangan perubahan konstitusi.

"Sistem itu kuno ... siapa pun yang berada di sistem ini akan mabuk kekuasaan. Saya pasti akan mabuk kekuasaan bila mendapatkan kekuasaan sebesar itu," katanya.

Aksener berasal dari Partai Gerakan Nasional (MHP) yang berhaluan kanan jauh.

Dalam pemilu lalu, kubu ultranasionalis hanya mendapatkan 12 persen suara, tetapi di luar dugaan mereka mendukung Erdogan dan partai yang berkuasa, Partai AKP, yang menyebabkan pemerintah bisa menggelar referendum.

Sejak itu MHP terpecah. Para pengurusnya mendukung referendum, namun tak sedikit pula yang menolak, selebihnya menyatakan belum membuat keputusan.

Aksener dipecat dari keanggotaan MHP karena secara terbuka menentang keputusan pengurus mendukung rencana pemerintah dalam referendum. Tapi ia menegaskan masih memiliki dukungan besar dari akar rumput.

Perpecahan di MHP membuat Aksener dilarang tampil di rapat-rapat akbar yang digelar kelompok oposisi.

Aksener dan tokoh oposisi lain, Sinan Ogan, yakin mereka adalah penentu suara sekitar 80 persen kelompok nasionalis.

Sejumlah jajak pendapat memperlihatkan, suara yang mendukung dan menentang amandemen konstitusi tidak berbeda jauh. Dengan kata lain persaingannya akan sangat ketat.

Ketatnya persaingan ini antara lain menyebabkan ketegangan hubungan antara pemerintah di Ankara dan beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Belanda.

Dua negara ini melarang menteri-menteri Turki ambil bagian dalam kampanye referendum yang diperuntukkan bagi warga Turki yang tinggal dan bekerja di berbagai negara Eropa.

"Terkait dengan kebijakan luar negeri ini, Anda harus berpikir sebelum berbicara. Jika Anda memanfaatkan politik luar negeri untuk kepentingan di dalam negeri, negara akan merugi ... menurut saya krisis ini akan mendorong rakyat menolak rencana amandemen UUD," kata Aksener.

Untuk meraih dukungan pemilih yang belum mengambil keputusan, pemerintah melancarkan iklan besar-besaran, baik melalui baliho maupun di media nasional.

Hampir setiap hari Presiden Erdogan tampil di televisi meminta rakyat memberikan suara mendukung perubahan konstitusi.

Erdogan beralasan sistem presidensial diperlukan untuk membantu mewujudkan Turki yang lebih stabil.

Kubu yang tidak setuju sementara itu mengeluhkan situasi kompetisi yang mereka katakan "tidak seimbang".

Apakah ini artinya Meral Aksener mengaku kalah? "Tidak, saya akan mati-matian agar kubu yang menentang (rencana pemerintah) menang."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com