Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simbiosis Mutualisme Rumit Turki dan Uni Eropa

Kompas.com - 22/03/2017, 12:33 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Perseteruan antara Turki dan beberapa negara Uni Eropa, dalam hal ini Belanda dan Jerman, semakin memanas.

Perseteruan ini dipicu setelah Jerman dan Belanda melarang aksi penggalangan massa untuk mendukung referendum yang akan digelar di Turki pada 16 April mendatang.

Belanda bahkan melakukan hal teramat ekstrem setelah melarang dua orang menteri Turki datang ke negeri itu untuk ikut dalam aksi unjuk rasa mendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Salah satu menteri yang dilarang masuk ke Belanda itu adalah Menlu Mevlut Davutoglu. Hal ini langsung memicu amarah Presiden Erdogan yang menyebut Belanda dan Jerman mempraktikkan ideologi Nazi.

Serangan Erdogan ini tak diterima kedua negara, terutama Jerman. Bahkan Kanselir Angela Merkel minta Erdogan menarik ucapannya itu tanpa syarat.

Namun, Erdogan malah mengancam akan mengevaluasi hubungan dengan Uni Eropa pasca-referendum dan menegaskan Turki tak bisa lagi didikte Uni Eropa.

Pertanyaannya, apakah Turki benar-benar akan memalingkan wajahnya dari Uni Eropa akibat masalah ini?

Saling membutuhkan

Sebenarnya, suka atau tidak, Turki dan Uni Eropa saling membutuhkan satu sama lain atau dalam bahasa ilmu biologi keduanya mempraktikkan simbiosis mutualisma.

Turki sebagai negara yang terletak di persimpangan antara Eropa dan Asia, terutama Timur Tengah, sangat dibutuhkan Uni Eropa sebagai buffer atau penyangga.

Turki sejak berakhirnya kekuasaan Ottoman, memalingkan wajahnya menuju Eropa dengan mengadopsi hampir semua budaya, idelogi, dan politik Eropa.

Turki selama ini selalu dikenal sebagai sebuah negeri dengan mayoritas penduduknya memeluk Islam tetapi sangat sekuler dan demokratis.

Sejak lama Turki, yang memiliki secuil daratan di Eropa, menganggap diri mereka sebagai bagian dari Benua Biru dan selalu mencoba menjadi bagian dari komunitas Eropa.

Turki selama ini seolah melupakan posisi mereka yang sebagian besar berada di daratan Asia, khususnya Timur Tengah.

Selama ini, Turki seolah membiarkan Timur Tengah menjadi papan catur yang hanya dimainkan dua negara besar yaitu Iran dan Arab Saudi.

Turki sendiri sibuk mengajukan "lamaran" untuk menjadi kandidat anggota Uni Eropa sejak 1999, bahkan jika dirunut ke belakang sudah sejak 1980-an Turki ingin menjadi bagian dari Eropa.

Entah mengapa, hingga saat ini Turki tak kunjung menjadi bagian dari Uni Eropa padahal secara ekonomi negeri ini lebih mapan dibanding katakanlah, Yunani atau Romania.

Banyak alasan yang digunakan Uni Eropa untuk terus mengganjal masuknya Turki ke dalam blok ekonomi itu.

Keputusan pemerintahan Erdogan memberantas upaya kudeta tahun lalu dengan keras semakin menjadi kredit negatif Turki di mata Brussels.

Penyangga Eropa

Namun, Uni Eropa juga enggan melepas Turki karena posisinya yang strategis sebagai penyangga Eropa dan Asia, terlebih Timur Tengah yang selalu bergolak.

Meski bukan anggota Uni Eropa, Turki adalah anggota pakta pertahanan Atlantik Utara atau NATO.

Dalam pakta ini kekuatan militer Turki hanya kalah dari Amerika Serikat, sehingga nilai strategis negeri ini sangat penting bagi Uni Eropa.

Salah satu fungsi Turki sebagai negeri penyangga Eropa misalnya dalam hal banjir pengungsi Timur Tengah.

Tahun lalu Turki dan Uni Eropa meneken kesepakatan kontroversial terkait pengendalian pengungsi.

Inti dari kesepakatan itu adalah Turki akan menerima kembali seluruh pengungsi yang secara ilegal mencapai Yunani dengan imbalan uang dan konsesi politik. Di bawah kesepakatan itu, Turki akan menerima kembali para pengungsi ilegal tersebut.

Nantinya Uni Eropa akan mengambil pengungsi langsung dari Turki dalam jumlah yang sudah ditentukan.

Selain imbalan uang dari Uni Eropa, Turki dijanjikan fasilitas bebas visa bagi warganya yang bepergian ke Uni Eropa dan percepatan proses keanggotaan Turki dalam Uni Eropa.

Uni Eropa pasar utama Turki

Seperti telah disinggung di atas, Uni Eropa dan Turki saling membutuhkan apalagi perdagangan kedua pihak selama ini sangat sehat dan menguntungkan.

Turki adalah rekan negara tujuan ekspor terbesar keempat dan pengimpor terbesar kelima bagi Uni Eropa.

Sementara bagi Turki, Uni Eropa adalah pasar utama produk-produk negeri itu. Sebanyak 44,5 persen ekspor Turki ditujuan ke Uni Eropa disusul Irak, AS, Swiss, Uni Emirat Arab, dan Iran.

Ekspor Turki ke Uni Eropa didominasi produk permesinan, peralatan transportasi, dan berbagai produk manufaktur.

Harian Daily Sabah menyebut, tahun lalu ekspor Turki ke Uni Eropa mencapai nilai 142,6 miliar dolar AS. Sedangkan impor mencapai angka 198,6 miliar dolar AS.

Harian ini juga menuliskan bahwa dari 28 negara anggota Uni Eropa, sebagian besar ekspor Turki ditujukan ke Jerman dengan nilai 1,19 miliar dolar.

Sementara untuk impor, Jerman menduduki peringkat kedua dengan nilai impor 1,81 miliar dolar AS, di bawah China.

Jika dilihat dari data perekonomian ini, maka kecil kemungkinan bagi Turki untuk meninggalkan Uni Eropa.

Jika Turki meninggalkan Uni Eropa maka hampir separuh pendapatan negeri itu akan hilang dan tentu tak mudah untuk mencari pasar baru.

Retorika Erdogan

Namun, selama hampir dua pekan terakhir, Presiden Recep Tayyip Erdogan terus mengumbar retorika dan serangan terhadap Uni Eropa dan Jerman.

Bahkan Turki mengancam akan mengevaluasi hubungan dengan Uni Eropa pasca-referendum 16 April mendatang.

Turki memang memiliki kartu AS yaitu kesepakatan terkait pengungsi Timur Tengah dengan Uni Eropa.

Jika Turki secara sepihak mengakhiri kesepakatan soal pengungsi ini, maka negara-negara Eropa dipastikan kewalahan menampung banjir pengungsi.

Namun, di sisi lain hal ini sangat berisiko sebab Uni Eropa bisa saja membalas dengan memberlakukan sanksi ekonomi bagi Turki.

Selain itu, Uni Eropa dengan mudah bisa mencari pemasok baru barang-barang produk Turki yang selama ini dipasarkan ke Eropa.

Melihat situasi ini, kemungkinan besar Erdogan bakal mengurangi retorikanya dan tak akan terlampau sering mengumbar pernyataan kontroversial terhadap Uni Eropa.

Hal itu pernah terjadi ketika krisis politik melanda Turki dan Rusia akibat ditembaknya jet tempur Rusia oleh pasukan Turki, tahun lalu.

Saat itu, awalnya pemerintahan Erdogan bersikukuh tak mau meminta maaf kepada Rusia karena yakin militernya melakukan hal yang benar.

Namun, ketika Rusia menghentikan impor sejumlah produk Turki dan melarang warganya berwisata ke negeri itu, ternyata hal tersebut membuat Turki kelimpungan.

Alhasil, Erdogan akhirnya meminta maaf kepada Presiden Vladimir Putin dan kini kedua negara menjadi sahabat erat seolah tak ada masalah di masa lalu.

Fakta ini menunjukkan, kekerasan hati Erdogan bisa melunak saat sikap itu tak menguntungkan bagi negerinya.

Namun, untuk memastikan hal tersebut, semua pihak harus menunggu hingga referendum 16 April mendatang usai digelar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com