Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Rami Adham, Si Penyelundup Mainan untuk Anak-anak Aleppo

Kompas.com - 05/10/2016, 10:48 WIB

DAMASKUS, KOMPAS.com - Di saat sebagian besar jurnalis dan pekerja sosial berpikir dua kali untuk memasuki kota Aleppo yang terkepung, ada satu pria yang terus keluar masuk kota itu dalam kondisi apapun.

Nama pria itu adalah Rami Adham yang dikenal sebagai "penyelundup mainan" karena aksinya mengumpulkan mainan dan membawanya untuk anak-anak Aleppo agar bisa sedikit melupakan kengerian perang.

Meski hanya menyelundupkan mainan, tetapi perjalanan yang ditempuh Rami sangat berbahaya. Sejauh ini keberuntungan masih menaungi Rami dan dia sudah 28 kali keluar masuk salah satu kota paling berbahaya di dunia itu.

"Saat perbatasan dengan Turki ditutup, maka saya tak bisa masuk ke Suriah membawa mainan jadi saya harus menggunakan cara tak resmi untuk masuk ke negara saya sendiri sambil membawa mainan," kata Rami kepada Al Arabiya.

Rami membawa berbagai jenis mainan mulai dari boneka beruang, boneka Barbie hingga Buzz Lightyear dari film Toy Story. Semua tergantung donasi warga dari berbagai negara di dunia.

"Sejak 2015, saya sudah 12 kali melakukan perjalanan ilegal ke Suriah...saya hanya berharap tak ditangkap dan didakwa pemerintah Turki," ujar Rami sambil terbahak.

Namun, usai sukses memasuki wilayah Suriah maka kesulitan Rami bertambah saat hendak masuk ke kota Aleppo.

Kota paling berbahaya

Rami Adham lahir di Suriah tetapi pindah ke Finlandia pada 1988 dan mengelola badan amal di negeri itu bernama Suomi Syyria.

Awalnya, dia tak pernah berencana untuk membawa mainan ke Suriah. Aksi ini muncul ketika dalam satu kesempatan dia akan melintasi perbatasan Suriah, putrinya bersikukuh ingin menyumbangkan mainan untuk anak-anak Suriah.

Meski sudah berulang kali melintasi perbatasan Suriah dan Turki, Rami mengatakan, perjalanannya ke Aleppo membawa mainan bukan pekerjaan mudah.

Sebab, setidaknya 20 orang, sebagian besar pekerja kemanusiaan dari PBB, tewas dalam serangan udara terhadap konvoi bantuan PBB bulan lalu. Baik Suriah dan Rusia membantah terlibat dalam serangan tersebut.

"Dulu, yang ditakuti adalah serangan sniper tetapi setidaknya mereka tahu tak perlu keluar rumah karena ada risiko tertembak," ujar seorang jurnalis Suriah yang tak mau disebutkan namanya.

"Kini setiap hari semua orang ketakutan karena mereka tak tahu kapan kediaman mereka menjadi sasaran bom pemerintah atau Rusia," tambah jurnalis itu.

Akibat serangan udara bertubi-tubi itu maka terlalu berbahaya bagi Rami untuk mengendarai mobil wilayah pemberontak dan pemerintah di Aleppo.

Alhasil dia harus berjalan kaki bersama para sukarelawan membawa 80 kilogram mainan, obat-obatan dan terkadang bahan makanan.

Dan bagi Rami bahaya yang mengincarnya bukan hanya pasukan pemerintah Suriah tetapi juga ISIS dan milisi Syiah.

"Sebagai mantan warga Aleppo saya melihat perjalanan berbahaya ini sebagai sebuah tugas dan kewajiban untuk membantu mereka yang membutuhkan," ujar Rami.

"Satu hal yang bisa saya lakukan adalah mengamankan masa depan Suriah dengan membantu anak-anak negeri ini karena kami tak ingin kehilangan generasi masa depan," tambah dia.

Mendapat perhatian dunia

Meski tinggal di Helsinki, Rami sudah bolak balik ke Suriah sejak pecah perang di negeri itu. Kini Rami sudah menjadi perhatian global setelah diwawancarai CNN, Guardian, The Independent dan lainnya.

Hampir semua liputan media ini menyoroti sisi positif pekerjaannya, tetapi Rami mengatakan jauh lebih penting untuk melihat gambar besar dari pekerjaannya ini.

"Saya tak begitu tertarik dengan media dan ketertarikan mereka atas kegiatan saya. Saya hanya ingin fokus terhadap pekerjaan saya," ujar Rami.

"Jadi saya akan terus menjalankan peran saya semampu saya dan saya tak peduli apa yang dipikirkan media ," tambah dia.

Saat ditanya apa pesan dari warga Aleppo, khususnya anak-anak, untuk dunia, sang penyelundup mainan hanya berkata, warga Aleppo berpikir dunia sudah mengabaikan mereka.

"Mereka ini manusia sesungguhnya bukan sekadar angka dan statistik. Mereka ingin tahu seberapa banyak lagi kematian sebelum dunia bertindak," kata Rami.

"Apa perlu 200.000 atau satu juta orang tewas? Kapan jumlah itu cukup agar dunia akan bereaksi? Mereka tak bisa menunggu lebih lama," Rami menegaskan.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com