Wajah indah Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah setelah ibu kota Damaskus, kini telah luluh lantak akibat perang saudara yang telah berjalan lebih dari lima tahun.
Dahulu, pada era kekaisaran Ottoman, Aleppo terbilang kota terbesar ketiga setelah Konstantinopel dan Kairo.
Bentangan kota dengan bangunan bertingkat, serta wajah kota tua yang teduh, telah berubah menjadi onggokan besar puing-puing.
Sebagian besar gedung di kota itu telah luluh lantak oleh bom atau roket.
Serangan terbaru menyasar kota itu Senin (26/9/2016) malam hingga Selasa (27/9/2016) dini hari, yang dikecam dunia karena dua rumah sakit besar hancur dan puluhan orang tewas.
Populasi kota yang sempat tercatat sekitar 2,3 juta berdasarkan sensus tahun 2014, pekan ini setidaknya tidak lebih dari 300.000 orang yang masih bertahan.
Wartawan The Guardian berusaha menghubungi beberapa warga kota melalui Skype dan WhatsApp untuk mengetahui kehidupan warga di bawah kepungan perang.
Menurut warga, bantuan tidak bisa masuk ke kota itu. Ancaman kelaparan meningkat. Komunikasi telepon yang sempat lancar, yang menbuat dunia luar tahu tentang Aleppo, kini mulai terganggu akibat terbatas atau rusaknya jaringan.
Aleppo telah menjadi identik dengan kehancuran dan kematian, bom barel, roket, peluru tajam, granat, kelaparan, dan rumah sakit yang hancur.
Namun, antara ledakan-ledakan dan pertempuran di jalan, ada lebih dari 200.000 warga sipil berusaha sekuat tenaga untuk menata kehidupan mereka secara normal di Aleppo timur.
Seperempat di antaranya adalah anak-anak.
Taksi, toko roti, tanaman air, dan kios di pasar, sekolah dan kegiatan amal, masih tetap dijalankan di Aleppo timur yang dikuasai pasukan oposisi sebelum serangan Senin malam itu.
Kehidupan warga kota yang sudah morat-marit akibat perang, semakin menderita setelah pasukan pemerintah melakukan pengepungan terhadap oposisi pada Juli lalu.
Seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan transportasi berhenti. Koneksi internet sangat terbatas, dan komunikasi dengan dunia luar meredup.