Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Peristiwa Politik Penting Dunia di 2017

Kompas.com - 26/12/2017, 05:17 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - 2017 akan segera berakhir. Sepanjang satu tahun perjalanannya, berbagai peristiwa politik terjadi di seluruh belahan dunia.

Dimulai dari perang yang terjadi di Marawi, Filipina, hingga yang paling baru adalah pengakuan Presiden AS Donald Trump terkait Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Berikut adalah tujuh peristiwa politik terpenting yang terjadi sepanjang 2017.

Mobil militer tampak melewati jalanan yang dihiasi dengan reruntuhan bangunan di Marawi, Filipina. (AFP/Ted Aljibe) Mobil militer tampak melewati jalanan yang dihiasi dengan reruntuhan bangunan di Marawi, Filipina. (AFP/Ted Aljibe)

1. Pertempuran Marawi (23 Mei 2017)
Pada 23 Mei 2017, dua kelompok teroris di Filipina yang memiliki afiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Maute dan Abu Sayyaf, menyerang area Basak Malutlut.

Mereka menduduki Rumah Sakit Amai Pakpak dan Dinas Kesehatan Filipina di Marawi.

Akibat serangan teroris, Presiden Rodrigo Duterte memberlakukan darurat militer di seluruh wilayah Mindanao yang berpenduduk 20 juta jiwa tersebut.

Akhirnya, setelah lima bulan lamanya baku tembak, dengan jumlah korban mencapai 1.100 orang, Duterte menyatakan Marawi telah sepenuhnya bebas dari teroris.

Namun, dia mengaku khawatir jika kelompok teroris bakal kembali menyusun kekuatan.

Karena itu, dia meminta Kongres Filipina menyetujui perpanjangan masa darurat militer hingga 31 Desember 2018.

Kalangan oposisi khawatir jika aksi politik Duterte bakal membuat Filipina kembali jatuh ke bawah kediktatoran seperti era Ferdinand Marcos.

Baca juga : Duterte Minta Perpanjang Masa Darurat Militer di Selatan Filipina

Seorang prajurit SDF mengibarkan bendera pasukannya di bundaran Al-Naim di kota Raqqa yang direbut dari tangan ISIS pada Selasa (17/20/2017).BULENT KILIC / AFP Seorang prajurit SDF mengibarkan bendera pasukannya di bundaran Al-Naim di kota Raqqa yang direbut dari tangan ISIS pada Selasa (17/20/2017).

2. Jatuhnya Kekhalifahan ISIS (21 Juni dan 17 Oktober 2017)
Ketika mendeklarasikan diri 29 Juni 2014, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah menyatakan ibu kota kekhalifahan mereka ada di Mosul, Irak.

Kemudian, pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, menyatakan Raqqa di Suriah sebagai ibu kota ISIS yang kedua.

Irak dan Suriah kemudian melancarkan serangan balasan dengan disokong negara Barat, dan bantuan milisi lokal seperti Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) Irak, dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

Pada 21 Juni 2017, Mosul direbut oleh aliansi pasukan pemerintah, milisi, dan negara Barat.

Terusirnya ISIS ditandai dengan peledakan Masjid Nuri, yang menjadi tempat Baghdadi mendeklarasikan ISIS.

Sebelumnya 11 Juni, Baghdadi dikabarkan terbunuh dalam sebuah serangan udara yang dilakukan jet tempur AS.

Kesuksesan Irak merebut Mosul diikuti oleh Suriah empat bulan berselang.

17 Oktober 2017, SDF menyatakan telah menguasai Raqqa sepenuhnya.

Kemudian, pada 9 Desember 2017, Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, mengumumkan bahwa perang melawan ISIS telah usai.

Baca juga : Irak Butuh Rp 1.354 Triliun Bangun Kembali Kota yang Dihancurkan ISIS

 

Paus Fransiskus (paling kanan) berdoa bersama para pengungsi Rohingya di Dhaka, Bangladesh. Untuk pertama kalinya, paus 80 tahun mengucapkan Rohingya setelah selama empat hari terakhir tidak mengatakannya di Myanmar (1/12/2017).MUNIR UZ ZAMAN/AFP Paus Fransiskus (paling kanan) berdoa bersama para pengungsi Rohingya di Dhaka, Bangladesh. Untuk pertama kalinya, paus 80 tahun mengucapkan Rohingya setelah selama empat hari terakhir tidak mengatakannya di Myanmar (1/12/2017).

3. Krisis Rohingya (25 Agustus 2017)
Sebanyak 620.000 orang etnis minoritas Rohingya harus melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi di Bangladesh.

Rohingya harus melarikan diri setelah militer Myanmar melancarkan operasi pada 25 Agustus 2017 untuk menumpas kelompok pemberontak Rakhine.

Selain membuat 620.000 orang mengungsi, organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas (MSF) melansir, saat sebulan pertama operasi militer, 6.700 orang dilaporkan tewas.

730 di antara 6.700 korban adalah anak-anak dengan usia di bawah lima tahun.

Dunia bereaksi atas operasi militer tersebut.

Amerika Serikat menyatakan bahwa Myanmar berusaha melakukan genosida terhadap Rohingya.

Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, harus melakukan kunjungan khusus ke Myanmar 27 November hingga 2 Desember untuk mengupayakan perdamaian.

Dalam kunjungan tersebut, Fransiskus bertemu dengan panglima militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Baca juga : Akhirnya, Paus Fransiskus Ucapkan Rohingya

Seorang pejalan kaki melewati televisi yang menayangkan gambar pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, di jalanan Tokyo, Jepang. Kim Jong Un menyebut kesuksesan Korea Utara meluncurkan Hwasong-15 telah membuat mereka sebagai negara nuklir sejajar dengan Amerika Serikat maupun Rusia. (29/11/2017)KAZUHIRO NOGI/AFP Seorang pejalan kaki melewati televisi yang menayangkan gambar pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, di jalanan Tokyo, Jepang. Kim Jong Un menyebut kesuksesan Korea Utara meluncurkan Hwasong-15 telah membuat mereka sebagai negara nuklir sejajar dengan Amerika Serikat maupun Rusia. (29/11/2017)

4. Uji Coba Nuklir Korea Utara (3 September 2017)
Rezim Kim Jong Un mengumumkan menguji coba senjata terbaru dan paling mematikan yang mereka miliki, bom hidrogen atau termonuklir.

Uji coba berada di situs nuklir Punggye-ri, dengan ledakan yang terjadi menghasilkan gempa 6,3 skala Richter.

Dalam pernyataan resminya, Korut berencana untuk mengangkut bom hidrogen tersebut ke dalam rudal balistik antar-benua (ICBM).

Lalu pada 29 November, Korut kembali membuat heboh dunia dengan meluncurkan ICBM terbaru mereka, Hwasong-15.

ICBM tersebut diklaim mampu menembus seluruh daratan utama AS.

Pemimpin Catalonia, Carles Puigdemont, menandatangani deklarasi kemerdekaan wilayah itu dari Spanyol,  Selasa (10/10/2017) waktu setempat, namun menunda pemisahan diri secara resmi dan menyerukan dialog dengan Madrid. AFP Pemimpin Catalonia, Carles Puigdemont, menandatangani deklarasi kemerdekaan wilayah itu dari Spanyol, Selasa (10/10/2017) waktu setempat, namun menunda pemisahan diri secara resmi dan menyerukan dialog dengan Madrid.

5. Krisis Catalonia (1 Oktober 2017)
Berawal dari referendum Catalonia 1 Oktober, puncaknya adalah deklarasi kemerdekaan Catalonia yang dilakukan Presiden Carles Puigdemont 27 Oktober.

Spanyol menanggapinya beberapa jam kemudian dengan mengaktifkan Artikel 155 Konstitusi 1978.

Melalui regulasi tersebut, pemerintahan Perdana Menteri Mariano Rajoy membekukan status otonomi khusus Catalonia, dan membubarkan pemerintahan Puigdemont dan Parlemen Catalonia.

Akibat krisis tersebut, tidak hanya sektor pariwisata Catalonia sangat terpukul.

Kondisi politik Spanyol juga terganggu. Sebab, hingga saat ini, mereka belum menetapkan anggaran 2018.

Rajoy kemudian menyatakan pemilu ulang bakal digelar Kamis (21/12/2017).

Dalam pemilihan tersebut, partai pro-persatuan Spanyol, Coudadanos, keluar sebagai pemenang dengan total meraup 37 kursi parlemen.

Namun, kubu separasi mengklaim 70 kursi di parlemen setelah JxCat, parti Puigdemont, dan ERC yang dipimpin eks wakil presiden Oriol Junqueras merengkuh masing-masing 34 dan 32 kursi.

Kemudian empat kursi tersisa direbut oleh Partai CUP.

Baca juga : Puigdemont Disarankan Pertimbangkan Lagi Langkah Kembali ke Catalonia

 

Warga kota Harare melintasi di belakang sebiuah tank AD Zimbabwe yang diparkir di salah satu ruas jalan kota tersebut, Rabu (15/11/2017).AFP Warga kota Harare melintasi di belakang sebiuah tank AD Zimbabwe yang diparkir di salah satu ruas jalan kota tersebut, Rabu (15/11/2017).

6. Kudeta Zimbabwe (14 November 2017)
Presiden Zimbabwe yang berkuasa selama 37 tahun, Robert Mugabe, melakukan pembersihan partai yang dipimpinnya, Zanu-PF.

Pembersihan itu dilakukan agar jalan sang istri, Grace, menuju posisi orang nomor satu Zimbabwe bisa mulus.

Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa termasuk dalam sosok yang ditendang oleh Mugabe.

Namun, pendepakan Mnangagwa ternyata menjadi blunder. Sebab, panglima militer Zimbabwe, Jenderal Constantino Chiwenga, gusar mengingat Mnangagwa merupakan sekutu terdekat Mugabe.

Chiwenga mendesak Mugabe agar menghentikan aksi pembersihan. Kalau tidak, militer bakal bersikap.

Ucapan itu dibuktikan dengan pengerahan dua tank, dan sejumlah kendaraan taktis menuju ibu kota Harare 14 November.

Selama sepekan, rakyat Zimbabwe diombang-ambing dalam situasi politik yang tidak menentu.

Akhirnya, 21 November 2017, Mugabe mengumumkan pengunduran dirinya. Empat hari berselang (24/11/2017), Mnangagwa dilantik menjadi suksesor Mugabe.

Baca juga : Robert Mugabe dan Keluarganya Dikabarkan Berlibur ke Singapura

Pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, Senin (18/12/2017), untuk resolusi yang menentang langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.un.org/UN Photo/Kim Haughton Pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, Senin (18/12/2017), untuk resolusi yang menentang langkah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.

7. Pengakuan AS atas Yerusalem (6 Desember 2017)
Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Israel merupakan negara yang berdaulat.

Kedaulatan itu meliputi hak untuk menentukan ibu kotanya sendiri.

Langkah itu, kata Trump, penting untuk mencapai perdamaian.

"Karena itu, sudah saatnya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," tutur Trump.

Gelombang kecaman pun mengalir dari seluruh dunia.

Di Palestina, warga di Yerusalem Timur, Tepi Barat, maupun Jalur Gaza menyerukan aksi Hari Kemurkaan lewat protes dengan turun ke jalan.

Sementara faksi Hamas menyerukan agar Palestina melakukan Intifada.

Pengakuan tersebut membuat Dewan Umum PBB menggelar pertemuan Kamis (21/12/2017) untuk merumuskan resolusi bagi Yerusalem.

Diawali dari proposal yang dirancang oleh Mesir, sebanyak 128 negara mendukung resolusi tersebut.

Sembilan, termasuk AS, menolak. Sisanya, 35 negara, memilih untuk abstain.

Baca juga : PM Israel Puas dengan Hasil Voting Majelis Umum PBB soal Yerusalem

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com