Hubungan "bromance" antara Trump dengan Putin yang baru-baru ini muncul menerapkan pedoman dalam pemerintahan yang ditinggalkan oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 70-an ketika Henry Kissinger dan Zhou Enlai bersatu untuk mengucilkan Uni Soviet.
Kemungkinan besar Rusia yang lemah secara perekonomian dan demografis tidak dapat memainkan peran yang serupa dalam menghadapi China selama 40 tahun ke depan.
Kebijakan Amerika di Asia sebelumnya mudah dibaca seperti sebuah buku yang terbuka. Pada dasarnya mereka akan selalu berusaha mengontrol perkembangan China dengan segala macam upaya dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain.
Jika Trump memaksakan kehendaknya (seperti percakapan melalui telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen), maka semua ini akan menjadi sia-sia.
Para pemimpin China akan kebingungan dengan aksi Trump yang selalu mengundang publisitas. Mereka juga akan memiliki sedikit informasi tentang apa yang akan Trump lakukan.
Trump mencapai kekuasaan dengan dukungan rakyat yang merasa Amerika tertinggal. Sebab itu, dia tidak akan membiarkan China maju tanpa memberi perlawanan. Keangkuhan dan hasratnya untuk selalu mengutamakan Amerika akan menghalangi hal tersebut.
Hal ini akan mempersulit situasi di Asia Tenggara, khususnya terkait sengketa Laut China Selatan. Penyelesaian masalah ini membutuhkan kebijaksanaan dan kecerdasan dari semua pihak yang terlibat. Sebuah solusi yang baik tidak selalu harus berakhir dengan pihak yang menang dan yang kalah.
Namun, obsesi yang serupa antara Trump dan China akan "kemenangan" menandakan bahwa negara-negara Asia Tenggara mungkin tidak dapat melakukan manuver seperti yang kita sudah lakukan sejak dahulu.
Negara-negara seperti Vietnam mampu bertahan dan berkembang selama puluhan tahun dengan memanfaatkan pertikaian antara kedua belah pihak. Opsi ini mungkin tidak dapat dilakukan lagi sekarang (seiring Singapura yang berhasil dengan cepat menyadari perseteruan mereka di Hong Kong), sebagai akibat dari retorika Trump. Tak ada satu pun dari kita di Asia Tenggara yang ingin memilih hanya satu pihak saja.
Melihat tantangan yang besar tersebut, mengapa para elit di kawasan ini kebingungan? Itu mungkin karena kita terbiasa dengan jenis "kepemimpinan" yang akan Trump laksanakan di Amerika.
Kami telah melihat segala macam bualan kosong yang bertujuan menjatuhkan moral pihak tertentu, terutama ketika Asia Tenggara pertama kali berhadapan dengan kedatangan orang-orang Eropa. Sebagian besar nenek moyang kita, yang mengetahui bahwa mereka kalah jumlah, hanya memiliki sedikit pilihan.
Mereka berusaha memukul mundur pihak asing dengan hanya mengandalkan retorika namun menyerah pada akhirnya. Karena di Asia, orang-orang yang memiliki kekuasaan cenderung hati-hati dalam mengeluarkan pernyataannya.
Banyak pihak menyadari kehebatan Xi sehingga dia tidak perlu mengandalkan retorika. Hal ini mungkin merupakan pelajaran pertama bagi Trump. Orang yang diam adalah sebaliknya, mematikan. Sementara kapal yang kosong cenderung membuat kegaduhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.