SAAT ini dunia seakan terbalik. Kita melihat seorang "Raja Asia" di Washington DC yang mudah tersinggung, pemarah, dan pendendam. Orang-orang Asia Tenggara mengenal "karakter" seperti Donald Trump.
Kita telah melewati pemimpin-pemimpin seperti Trump dalam beberapa dekade terakhir, jika bukan berabad-abad. Kita sudah sering berhadapan dengan kemarahan seorang pemimpin yang sering berubah-ubah pikirannya.
Ini seperti sudah menjadi bagian dari DNA politik kita. Bukan berarti kita menyukai raja yang sewenang-wenang dalam memerintah tetapi kita hanya mencoba mengerti mereka.
Bagi kita, semua ini hanyalah tentang bagaimana kita bisa bertahan hidup. Bagaimanapun juga, politik kerajaan bisa menjadi sangat kejam.
Kita mengenal para "leluhur" Trump seperti Raja Narathu dari Myanmar (yang diduga membunuh ayah, kakak, dan istrinya) atau Amangkurat I dari Mataram (yang memiliki kebiasaan buruk membunuh para pengkritiknya).
Di zaman modern, kita menemukan Norodom Sihanouk yang memiliki sifat kekanak-kanakan hingga Presiden Ferdinand Marcos yang serakah, dan Ne Win yang tergila-gila dengan kekuasaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah menjadi bagian dari dunia ini.
Para pengusaha tentunya memiliki lebih banyak pilihan dan berada dalam "rombongan" Donald Trump. Mereka akan mendekati pasangan muda berpakaian elegan yang sering menemani mantan bintang acara realita itu ke manapun dia pergi.
Lingkungan orang dalam yang dimiliki tiap raja yang sewenang-wenang biasanya diwarnai oleh hirarki kekuasaan. Dalam pemerintahan Trump, Jared Kushner dan istrinya Ivanka menduduki kekuasaan tertinggi.
Ini sangat ironis mengingat pemimpin yang menghuni Zhongnanhai adalah orang yang sangat berbeda.
Perlu diingat bahwa Beijing dan Kota Terlarang ("Forbidden City") telah melahirkan banyak pemimpin dengan gangguan mental, seperti Kaisar Yang dari Dinasti Sui hingga Permaisuri Dowager Cixi dari Dinasti Qing dan bahkan Mao Zedong.
Xi Jinping adalah pemimpin yang melambangkan prinsip teknokratis. Dia sangat rasional, tenang, namun sekaligus tidak memiliki belas kasihan. "Pemimpin utama" Beijing ini adalah seseorang yang selalu mempertimbangkan, merencanakan, dan melaksanakan setiap langkah dengan cermat dan seksama. Bagi Presiden China, tidak ada yang namanya suatu kebetulan.
Apakah ini cuitan marah-marah pada pukul 2 pagi? Saya rasa tidak.
Ini adalah tanda bagaimana tahun 2016 telah mengalahkan perhitungan geopolitik kita dan menunjukan bahwa China mampu memainkan peran dengan baik di persaingan global. Coba amati kehadiran Xi Jinping di Davos.
Masalah kecocokan antarpribadi juga mempersulit situasi saat ini.
Bagaimana kedua pemimpin ini mengatasi perseteruan mereka? Apakah ada orang yang bisa membayangkan Trump yang sensitif dan berubah-ubah pikirannya akan bekerja sama dengan Xi yang tenang dan keras kepala? Sebuah hubungan yang mudah terpancing amarah akan memiliki dampak yang sangat buruk bagi perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Hubungan "bromance" antara Trump dengan Putin yang baru-baru ini muncul menerapkan pedoman dalam pemerintahan yang ditinggalkan oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 70-an ketika Henry Kissinger dan Zhou Enlai bersatu untuk mengucilkan Uni Soviet.
Kemungkinan besar Rusia yang lemah secara perekonomian dan demografis tidak dapat memainkan peran yang serupa dalam menghadapi China selama 40 tahun ke depan.
Jika Trump memaksakan kehendaknya (seperti percakapan melalui telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen), maka semua ini akan menjadi sia-sia.
Para pemimpin China akan kebingungan dengan aksi Trump yang selalu mengundang publisitas. Mereka juga akan memiliki sedikit informasi tentang apa yang akan Trump lakukan.
Trump mencapai kekuasaan dengan dukungan rakyat yang merasa Amerika tertinggal. Sebab itu, dia tidak akan membiarkan China maju tanpa memberi perlawanan. Keangkuhan dan hasratnya untuk selalu mengutamakan Amerika akan menghalangi hal tersebut.
Hal ini akan mempersulit situasi di Asia Tenggara, khususnya terkait sengketa Laut China Selatan. Penyelesaian masalah ini membutuhkan kebijaksanaan dan kecerdasan dari semua pihak yang terlibat. Sebuah solusi yang baik tidak selalu harus berakhir dengan pihak yang menang dan yang kalah.
Namun, obsesi yang serupa antara Trump dan China akan "kemenangan" menandakan bahwa negara-negara Asia Tenggara mungkin tidak dapat melakukan manuver seperti yang kita sudah lakukan sejak dahulu.
Negara-negara seperti Vietnam mampu bertahan dan berkembang selama puluhan tahun dengan memanfaatkan pertikaian antara kedua belah pihak. Opsi ini mungkin tidak dapat dilakukan lagi sekarang (seiring Singapura yang berhasil dengan cepat menyadari perseteruan mereka di Hong Kong), sebagai akibat dari retorika Trump. Tak ada satu pun dari kita di Asia Tenggara yang ingin memilih hanya satu pihak saja.
Melihat tantangan yang besar tersebut, mengapa para elit di kawasan ini kebingungan? Itu mungkin karena kita terbiasa dengan jenis "kepemimpinan" yang akan Trump laksanakan di Amerika.
Kami telah melihat segala macam bualan kosong yang bertujuan menjatuhkan moral pihak tertentu, terutama ketika Asia Tenggara pertama kali berhadapan dengan kedatangan orang-orang Eropa. Sebagian besar nenek moyang kita, yang mengetahui bahwa mereka kalah jumlah, hanya memiliki sedikit pilihan.
Mereka berusaha memukul mundur pihak asing dengan hanya mengandalkan retorika namun menyerah pada akhirnya. Karena di Asia, orang-orang yang memiliki kekuasaan cenderung hati-hati dalam mengeluarkan pernyataannya.
Banyak pihak menyadari kehebatan Xi sehingga dia tidak perlu mengandalkan retorika. Hal ini mungkin merupakan pelajaran pertama bagi Trump. Orang yang diam adalah sebaliknya, mematikan. Sementara kapal yang kosong cenderung membuat kegaduhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.