KERAMAIAN di depan Museum Nasional Sejarah dan Budaya Amerika-Afrika di Washington DC didominasi oleh warga kulit hitam – berbanding terbalik dengan antrean yang dipenuhi warga kulit putih yang saya saksikan sepekan sebelumnya di Grand Rapids, Michigan untuk menyaksikan kampanye Donald Trump.
Sementara di dalam museum berwarna coklat tembaga yang cantik itu, suasana begitu sunyi, hening, dan penuh respek.
Keluarga-keluarga, pengunjung museum, berkumpul di depan bermacam display dan monitor video untuk melihat berbagai peninggalan dari masa perbudakan, seperti belenggu tangan yang sudah berkarat, gambar-gambar yang mengerikan dari sebuah kapal budak dan sebuah "Perlintasan" dari Afrika Barat.
Namun, apa yang dipamerkan museum tak sepenuhnya suram. Ada pula yang memberikan gambaran tentang bagaimana kaum budak itu bertahan dan memiliki harapan—semangat untuk tetap hidup dengan mulia dan berani di tengah perbudakan dan penindasan yang pada akhirnya mendorong terciptanya Gerakan Hak-Hak Sipil yang dipimpin Martin Luther King, Motown, dan tentu saja Barack Obama sendiri.
Tetapi presiden Amerika Serikat pertama yang berkulit hitam ini akan mengakhiri masa kedua pemerintahannya dan presiden terpilih, Donald Trump tengah bersiap menduduki kursi tertinggi di negeri tersebut. Situasi ini membuat banyak warga keturunan Afrika Amerika merasa bersedih.
Andy Russell, seorang pemuda tampan berusia 30 tahun yang juga pemain cello dan editor film ini tertunduk murung ketika mengatakan, "Saya tadinya yakin 100 persen Hillary Clinton akan memenangkan pemilihan ini. Semua jajak pendapat dan para pakar menunjukkan dia akan menang."
Andy khawatir terhadap masa depan negaranya yang akan dipimpin oleh seorang pria beretorika rasis yang telah mendominasi wacana publik di negaranya selama lebih dari dua tahun terakhir. Semua ini sebagaimana #BlackLivesMatter telah menimbulkan sorotan tajam, seperti terhadap kebrutalan polisi.
Dia pun mengaku sedih bahwa, "Banyak hal yang tidak spektakuler di bawah Presiden Obama, tapi saya harus akui bahwa kami merasa lebih stabil. Obama sesungguhnya bisa menjadi besar, hanya saja Kongres tidak membiarkan hal itu terjadi."
Sebagai seorang anak pendeta Gereja Advent Hari Ketujuh dan perawat, keistimewaan Andy adalah kedisiplinannya yang luar biasa hingga dia mampu terhindar dari alkohol dan rokok. Lahir di Cleveland, Ohio namun sempat tinggal di berbagai daerah di Amerika, Andy memiliki "jaminan" karena dia anak dari anggota masyarakat yang dihormati.
Meski demikian, dia sangat menyadari bagaimana sistem di masyarakatnya telah menjebaknya karena menggolongkan manusia berdasarkan warna kulitnya.
"Saya harus mengenakan setelan jas di tempat bekerja agar terlihat serius. Saya seperti punya kekhasan sebagai orang kulit hitam, dari cara saya berbicara, berpenampilan. Meski memiliki gelar sarjana dan kini sedang belajar di sekolah seni, itu pun masih tetap tidak mudah."
"Ketakutan dalam hubungan antar-ras di bawah pemerintahan Trump itu nyata. Para pendukungnya yang sering merendahkan kami sekarang memiliki kekuatan. Apa yang akan terlihat dari negara ini nantinya? Rasa takut."
Dengan latar belakang keluarga dan kariernya yang susah payah, Andi tidak terlepas dari sebuah prasangka yang menjalari masyarakat Amerika.
Misalnya, ketika saya memujinya karena kepandaiannya berbicara, dia menjawab, "Saya benci ketika seseorang memberitahu saya kalau saya pandai berbicara. Saya tidak menganggapnya itu sebagai pujian, karena bagi saya, itu artinya kamu melihat saya, lalu kamu menilai saya dan ternyata saya mengejutkan kamu."
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.