Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ervan Hardoko
wartawan

Wartawan, peminat isu-isu luar negeri dan olahraga, meski tidak gemar berolahraga

Islamofobia dan Kemenangan Sadiq Khan

Kompas.com - 08/05/2016, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Sore hari pada akhir Agustus 2012, saya sedang dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Heathrow, London, dengan menumpang sebuah taksi.

Pengemudi taksi itu adalah seorang pria asal Kashmir, Pakistan, berusia pertengahan 30-an dan memperkenalkan diri sebagai Imran.

Dalam perjalanan menuju bandara itu, Imran banyak bercerita soal dirinya, warga keturunan Pakistan dan Muslim.

Dia mengatakan, Inggris dulu sangat mudah dimasuki warga dari India, Pakistan, atau Banglades yang ingin mencari penghidupan atau menuntut ilmu.

"Namun, sejak banyak aksi terorisme dengan mengatasnamakan Islam, banyak warga Pakistan atau Banglades, yang beragama Islam, sulit masuk ke Inggris," kata Imran.

"Mereka yang mengatasnamakan Islam untuk melakukan kekerasan sebenarnya tidak sedang berjihad. Sayalah saat ini yang sedang berjihad karena bekerja menjadi sopir taksi untuk menghidupi keluarga saya," tambah pria bercambang itu.

Saya mendengarkan sambil menganggukkan kepala dan sesekali membenarkan semua ucapannya.

Memang sejak tragedi WTC di New York pada 2001 yang disusul pencanangan perang terhadap terorisme oleh Amerika Serikat, islamofobia agaknya menjadi wabah di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara Barat.

Beberapa hari sebelum saya menumpang taksi yang dikemudikan Imran, saya menyempatkan diri berjalan-jalan di Hyde Park, London.

Di salah satu sudut taman itu, saya bertemu sekelompok pemuda berusia 20-an sedang menyebarkan pamflet dan brosur.

Ternyata, mereka adalah para pemuda dan pemudi Muslim keturunan Banglades yang berusaha memberi pengetahuan kepada warga Inggris tentang Islam yang sesungguhnya.

"Kami mencoba memberikan gambaran bahwa Islam adalah agama yang damai dan terbuka sehingga tak perlu ditakuti," ujar salah seorang pemuda.

Padahal, setidaknya menurut penglihatan saya, di London tak terlihat adanya diskriminasi terhadap minoritas, khususnya umat Muslim.

Masjid-masjid dalam berbagai ukuran bertebaran di kota London. Di ibu kota Inggris itu setidaknya terdapat lebih dari 400 masjid, sedangkan di seluruh Inggris Raya diperkirakan ada setidaknya 1.200 masjid.

Pada saat bulan suci Ramadhan, kedai-kedai milik warga keturunan Timur Tengah juga ramai dipadati warga Muslim ketika saat berbuka sudah tiba.

****

Namun, apakah umat Muslim di Inggris Raya sudah 100 persen terlepas dari diskriminasi? Jawabannya tentu saja tidak, apalagi Inggris beberapa kali menjadi sasaran aksi teror yang mengatasnamakan Islam.

Pengeboman bus kota di London pada 7 Juli 2005 yang menewaskan 52 orang tentu tak mudah hilang dari ingatan warga kota itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com