WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Presiden AS Donald Trump akhirnya resmi mengumumkan rencana perdamaian Palestina dan Israel yang disambut reaksi beragam dari seluruh dunia.
Dia mengumumkannya bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, dalam proposal yang disambut kecaman dari Ramallah.
"Bersama, kami bisa melakukannya. Fajar baru di Timur Tengah," ujar Trump ketika mengumumkan rencana perdamaian Palestina dan Israel itu.
Baca juga: Rencana Perdamaian Trump Bocor, Warga Palestina Bentrok dengan Polisi Israel
Cetak biru dalam penyelesaian salah satu konflik terpanjang di dunia itu disusun berdasarkan arahan menantu sekaligus penasihat Trump, Jared Kushner.
Dia menuturkan, tawaran itu adalah "kesempatan terakhir" bagi Palestina. Dilansir BBC, Selasa (28/1/2020), berikut isi dari "kesepakatan terbesar abad ini" tersebut:
Baca juga: RI Protes AS yang Anggap Legal Permukiman Israel di Palestina
Baca juga: Cerita Pemuda Palestina di Gaza yang Kesulitan untuk Menikah...
"Hari ini (Selasa), Israel telah mengambil langkah besar menuju perdamaian," papar presiden 73 tahun itu di Gedung Putih.
Dia mengatakan, visinya mewakili win-win solution bagi dua pihak. Tawaran solusi dua negara yang bisa membuat dua negara sepakat.
Presiden dari Partai Republik itu beralasan, warga Palestina saat ini berada dalam kemiskinan dan kekerasan, serta dieksploitasi menjadi teroris dan ekstremis.
"Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik," kata Trump dalam konferensi pers di mana dia berdiri di samping Bibi, panggilan Netanyahu.
Sementara Kushner dalam wawancaranya dengan CNN memperingatkan Ramallah untuk tidak "mengacaukan" rencana perdamaian tersebut.
"Saya pikir mereka akan mengalami kesulitan ketika melihat komunitas internasional, di mana mereka akan mengklaim diri sebagai korban," ujar Kushner.
Baca juga: Didesak Indonesia, DK PBB Keluarkan Status Ilegal Pemukiman Israel di Palestina
Apa tanggapan Netanyahu dan Palestina?
Dilansir AFP, Benjamin Netanyahu menyebut kesepakatan itu sebagai "kesepakatan terbaik abad ini", dan memuji Trump sebagai "teman terbaik yang pernah dimiliki Israel".
Dari Ramallah, Presiden Mahmoud Abbas langsung menolak keras proposal itu, dengan menyatakan tidak mungkin mereka bisa punya negara tanpa ibu kota di Yerusalem Timur.
"Kami sudah mengatakannya berulang kali. Tidak, tidak, tidak," kecam Abbas. "Kami sudah menolak tawaran ini dari awal, dan keputusan kami sudah tepat," lanjutnya.