Di episode terbaru, sang tokoh presiden melampiaskan kemarahannya atas pengkhianatan operator keuangannya yang juga menjadi penagih utang, seorang wanita berisi dengan nada bicara lantang bernama Lily.
Sang presiden pun meminta Lily untuk dibunuh. Episode Ini merupakan momen TV yang membuat gelisah para penonton, semembara episode serial The Bridge atau House of Cards.
Coco menjelaskan bagaimana dia mencoba untuk memperkaya alur plot dan karakterisasi setiap tokohnya.
“Saya memanfaatkan pengalaman pribadi saya, mulai dari ketika tumbuh besar, lingkungan pergaulan di Filipina dan hal-hal yang pernah saya lihat di berita. Saya tumpahkan semuanya menjadi cerita-cerita untuk Ang Probinsyano,” katanya.
Aktor utama yang merupakan seorang polisi juga menuai kritik dari pihak berwenang.
Coco menjelaskan, “Saya telah dipanggil berkali-kali ke Camp Crame (kantor polisi), dan ditanya ‘Mengapa Anda mencemari citra polisi?”
“Saya katakan pada mereka, ‘Mungkin Anda lupa, karakter saya adalah seorang polisi. Tokoh ini mengalami semua hal yang dirasakan oleh kebanyakan polisi. Polisi dapat menjadi polisi yang baik atau buruk. Saya telah menunjukkan kedua sisi itu di seri ini,” tambah Coco.
Tak menyangka berhasil
Bagi seorang anak kecil dari lingkungan kelas-pekerja seperti di Novaliches, Kota Quezon, Coco (yang bernama asli Rodel Nacianceno) tidak pernah berpikir dia akan berhasil sampai sejauh ini.
“Orangtua saya hidup terpisah dan saya menjadi anak jalanan. Saya dulu selalu berkelahi. Saya sering bertanya-tanya, mengapa saya selalu berada dalam masalah? Ayah saya dulu sering bertengkar. Dia lebih kasar ketika dia mabuk, yang mana dia sering mengacungkan pistol,” cerita Coco ketika mengingat kembali masa kecilnya.
Meski begitu, bangkitnya Coco dari kesuraman bukanlah hal yang istimewa. Filipina penuh dengan cerita semacam itu.
Akan tetapi, karya dan visinya dibentuk oleh pengaruh dari dua pria luar biasa yang perjalanan karirnya mungkin mempengaruhi masa depan Coco.
Pertama adalah pemenang Cannes Palme D’Or, Brilliante Mendoza dan yang kedua adalah seorang bintang film dan mantan calon presiden, almarhum Fernando Poe Junior (“FPJ”), yang dikalahkan oleh Gloria Macapagal Arroyo pada Pemilu 2004 dengan penuh kecurangan.
Coco telah membintangi tiga film Mendoza yang sangat menyuramkan. Semua film yang dibintanginya menjadi terobosan tetapi tidak ada yang lebih menarik dari Kinatay yang dirilis pada 2009.
Di film ini, dia berperan sebagai seorang mahasiswa kriminologi yang baru saja berkeluarga dan sangat membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhannya. Dia akhirnya menyaksikan penculikan, pemerkosaan, pembunuhan, dan mutilasi seorang pekerja seks.