Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korea Utara di 2019: Antara Denuklirisasi dan Reunifikasi

Kompas.com - 31/12/2018, 23:43 WIB
Agni Vidya Perdana

Penulis

KOMPAS.com - Tahun 2018 bagi Korea Utara maupun Kim Jong Un selaku pemimpin tertinggi, bisa disebut sebagai momen titik balik sejarah yang sangat berkebalikan dengan setahun sebelumnya.

Pada tahun 2017, Korea Utara banyak menuai kecaman dan kritik karena program persenjataan nuklir dan uji coba misilnya, yang berujung pada jatuhnya sanksi dari AS dan juga PBB.

Namun sepanjang tahun 2018, banyak pihak justru menaruh harapan pada perdamaian di Semenanjung Korea, menyusul pernyataan Kim Jong Un yang ingin mengajak dialog dengan Korea Selatan dalam pidato tahun barunya.

Selain itu, pada bulan Juli, Kim turut mengumumkan jika Korea Utara bakal mengakhiri program nuklirnya dan mulai fokus membangun perekonomian Korea Utara.

Terbukti sepanjang 2018, Korea Utara hampir tidak pernah terdengar melakukan rangkaian uji coba misil maupun nuklirnya.

Meski belakangan, tersiar kabar bahwa mereka telah melakukan uji coba bersenjataan jenis baru, serta ada laporan tentang hasil citraan satelit yang menunjukkan pembangunan di lokasi uji coba misilnya.

Wacana Denuklirisasi Korea Utara

Dua hal yang menjadi fokus perhatian dunia terhadap Korea Utara di sepanjang 2018 adalah wacana denuklirisasi dan perkembangan hubungannya dengan Korea Utara.

Berawal dari pertemuan tingkat tinggi yang dilangsungkan antara Kim Jong Un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 12 Juni di Singapura.

Pertemuan yang berlangsung selama sekitar lima jam di Hotel Capella di Pulau Sentosa tersebut diakhiri dengan penandatanganan sebuah kesepakatan denuklirisasi Korea Utara, namun tanpa menyebutkan cara maupun waktu yang ditentukan.

Semenjak pertemuan tersebut desakan kepada Korea Utara untuk segera melucuti persenjataan dan misil nuklirnya dengan cara yang dapat diverifikasi dan tak dapat dikembalikan semakin menguat.

Pyongyang juga sempat mengklaim telah menghancurkan salah satu siklus nuklirnya di Punggye-ri, bahkan sebelum pertemuan dengan Washington.

Namun banyak pihak yang meragukan langkah tersebut karena tidak adanya tim yang mampu melakukan verifikasi secara langsung.

Persoalan denuklirisasi Korea Utara juga telah menjadi tarik ulur antara Pyongyang dengan pihak Amerika Serikat.

Korea Utara yang mengklaim telah melakukan sejumlah kemajuan dalam proses denuklirisasi, menuntut kepada AS untuk dapat mengurangi sanksi yang dibebankan kepada negara itu.

Namun sebaliknya, Washington bersikeras bahwa sanksi harus dipertahankan sampai setelah Pyongyang mampu membuktikan telah melakukan pelucutan teknologi dan persenjataan nuklir maupun misilnya, serta melakukan denuklirisasi secara penuh, terverifikasi, dan tak dapat dikembalikan.

Kedua pihak telah mengutus perwakilan masing-masing untuk saling bertemu, menindaklanjuti kesepakatan yang ditandatangani di Singapura.

Beberapa kali pertemuan telah dilangsungkan dengan AS mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, sementara Korea Utara diwakili pejabat seniornya, termasuk orang nomor dua di negara itu, Kim Yong Chol.

Terakhir, rencana pertemuan antarpejabat tinggi kedua negara yang dijadwalkan dilangsungkan di New York pada awal November lalu, harus dibatalkan karena pihak Korea Utara yang merasa tidak siap.

Sejak saat itu, pembahasan kedua negara terkait denuklirisasi Korea Utara seolah mandeg.

Padahal, Presiden Trump berharap untuk dapat kembali bertemu dengan Kim Jong Un pada awal-awal tahun 2019.

Sementara, Pyongyang justru mengancam bakal mengembalikan pengembangan program nuklirnya jika AS tidak segera mengabulkan permintaan Korea Utara untuk mengurangi sanksi.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bersama istrinya Ri Sol Ju (sisi kiri), berpose dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Ibu Negara Kim Jung-sook di Gunung Paektu Kamis (20/9/2018) setelah pertemuan.AFP/Pyeongyang Press Corps Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bersama istrinya Ri Sol Ju (sisi kiri), berpose dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Ibu Negara Kim Jung-sook di Gunung Paektu Kamis (20/9/2018) setelah pertemuan.

Progres Reunifikasi Dua Korea

Berbanding terbalik dengan proses denuklirisasi yang terkesan mandeg, progres justru terlihat dalam hubungan antara Korea Utara dengan tetangganya, Korea Selatan.

Perkembangan hubungan antara kedua Korea tak lepas dari pertemuan Presiden Korsel Moon Jae-in dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un selama 2018 yang tercatat terjadi sebanyak tiga kali.

Setelah dua pertemuan pertama yang dilangsungkan di zona demiliterisasai Panmunjom, pertemuan terakhir yang berlangsung selama tiga hari pada 18-20 September digelar di Pyongyang.

Namun rencana kunjungan balasan Kim ke Seoul belum terlaksana hingga saat ini, meski sebelumnya sempat gencar diberitakan bahwa pemimpin Korut tersebut akan berkunjung sebelum tahun 2018 usai.

Terlepas dari rencana kunjungan Kim ke Seoul yang tertunda, selama 2018 telah banyak perkembangan yang terjadi antara kedua Korea dengan tujuan reunifikasi dan mengakhiri kesepakatan gencatan senjata 1953 dengan pakta perdamaian.

Melunaknya hubungan antara dua Korea yang sempat berkonflik dalam Perang Korea pada 1950-1953 tersebut mulai terlihat dengan diturunkannya kontingen Korea Bersatu dalam ajang Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan di bulan Februari.

Juga dalam perhelatan Asian Games di Indonesia, pada bulan Agustus, meski hanya untuk beberapa cabang olahraga.

Pyongyang dengan Seoul juga telah melakukan sejumlah upaya dalam mengurangi ketegangan di zona demiliterisasi, mulai dari menghapus ranjau, pelucutan senjata pasukan perbatasan, menghapus pos penjagaan, serta membangun jalur penghubung.

Terakhir kali, tim survei dari Seoul telah merampungkan misi pemeriksaan jalur kereta api di sepanjang perbatasan wilayah Korea Utara, untuk kemudian membangun perlintasan kereta yang menghubungkan kedua Korea.

Puncak dari segala progres yang terjadi tentunya adalah harapan akan terciptanya perdamaian di Semenanjung Korea, di mana kedua negara pada dasarnya masih berperang usai penandatanganan perjanjian gencatan senjata untuk mengakhiri Perang Korea 1950-1953.

Selain Korea Utara dan Selatan, perjanjian tersebut turut ditandatangani oleh wakil China dan Amerika Serikat.

Kondisi tersebut membuat tercapainya perdamaian melalui pengakhiran Perang Korea dengan perjanjian damai sedikit sulit dicapai karena juga harus melibatkan Washington dan Beijing.

 

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (bermantel hitam) memberi pengarahan kepada para pejabat militer setelah Korut mengklaim sukses mengujicoba senjata taktis berteknologi tinggi.AFP/KCNA VIA KNS Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (bermantel hitam) memberi pengarahan kepada para pejabat militer setelah Korut mengklaim sukses mengujicoba senjata taktis berteknologi tinggi.

Denuklirisasi dan Reunifikasi di 2019

Kini, bagaimanakah kemungkinan tercapainya denuklirisasi dan reunifikasi di Semenanjung Korea pada 2019? Dapatkah perdamaian terwujud antara kedua Korea?

Menurut Joseph R DeTrani, mantan utusan khusus AS untuk negosiasi dengan Korea Utara, harapan dalam negosiasi denuklirisasi ada pada rencana pertemuan kedua antara Ketua Kim dengan Presiden Trump di awal 2019.

Disampaikan DeTrani, dalam tulisannya yang dimuat dalam The National Interest, para negosiator dari kedua negara harus bertemu secara rutin untuk dalam menyusup rencana yang pada akhirnya bertujuan untuk denuklirisasi dengan imbalan jaminan keamanan dan bantuan pembangunan ekonomi.

"Proses ini mungkin memerlukan pendirian kantor penghubung di ibu kota masing-masing dan deklarasi AS untuk mengakhiri Perang Korea."

"Korea Utara kemudian dapat memberikan deklarasi yang mencantumkan semua senjata dan fasilitas nuklirnya, serta menyetujui protokol verifikasi yang mengizinkan pengawan Badan Energi Atom Internasional untuk mengunjungi lokasi nuklir Korea Utara."

"Dengan ini, selanjutnya Amerika Serikat akan mencabut sanksi yang dipilih. Hal ini akan menjadi sebuah kemajuan," ujarnya.

Pendapat berbeda disampaikan Jieun Baek, seorang pengamat Korea Utara dan penulis buku "Revolusi Tersembunyi Korea Utara".

Menurut Baek, Korea Utara tidak akan menyerahkan persenjataan nuklinya pada 2019, pun tidak dalam waktu dekat.

"Pada intinya adalah Kim Jong Un tidak akan menyerahkan senjata nuklirnya pada 2019, atau dalam waktu dekat."

"Dia mungkin membuat sebuah konsesi kecil, atau jika bisa disebut serampangan, untuk membuat seolah dia sedang bekerja sama dengan AS."

"Tetapi saya sangat percaya bahwa dia tidak akan berkomitmen untuk mengimplementasikan dan atau menyelesaikan denuklirisasi yang lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat dikembalikan pada 2019," kata Baek.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com