Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Darurat Literasi Media Sosial, Berpacu Melawan Konten Negatif

Kompas.com - 22/03/2018, 09:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ming Kuok-Lim, penasehat komunikasi dan informasi UNESCO menuturkan gerakan literasi media sosial mendesak untuk dilakukan seluruh negara terutama di Asia Tenggara mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh konten negatif yang mudah menyebar melalui sosial media.

“Kemudahan mengakses dan saling tukar informasi melalui media sosial membuat literasi media sosial bukan lagi menjadi kemewahan, justru literasi media kini menjadi salah satu modal bertahan hidup,” tuturnya.

Sementara itu dalam tataran individual, Ramon Tuazon yang merupakan Presiden Institut Jurnalisme dan Komunikasi Asia, justru menyatakan literasi media sosial tidak sekadar belajar melek media tetapi justru seharusnya bagaimana belajar menggunakan media sosial yang ada saat ini untuk proses penyebaran informasi baik.

Belajar dan menyebarkan informasi baik menggunakan media sosial menjadi lebih penting dan mendesak mengingat penggunaan media sosial yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat digital. Tanpa kesadaran tersebut, tingginya pendidikan formal akan menjadi sia-sia.

Senada dengan Ramon, pembicara di ajang ini, Jiow Hee Jhee dari Institut Teknologi Singapura menyajikan data yang menarik perihal tingginya kasus perundungan di dunia maya (cyberbully) di negara tersebut yang ternyata menempati posisi ketiga tertinggi di dunia.

Selain itu, survei pemerintah Singapura menemukan dua dari tiga responden ternyata tidak bisa memilah berita palsu yang beredar di sosial media, bahkan 25 persen diantaranya justru membagikan informasi tersebut.

Fakta Singapura seperti menghentak saya terhadap fakta jumlah terbesar pengguna internet di Indonesia berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun lalu justru mereka yang berpendidikan Sarjana-Diploma (79,23 persen) hingga Magister-Doktor (88,24 persen).

Pantas saja, di antara mereka yang terjerat kasus berita bohong di Indonesia tak sedikit yang bergelar Sarjana maupun Magister (S2). Menyedihkannya ada pula guru besar bergelar profesor yang seharusnya disibukkan dengan kegiatan meneliti atau malah menimang cucu justru tak bosan menyebarkan ketakutan melalui media sosial.

Dan repotnya pesan-pesan negatif tersebut rupanya justru dimanfaatkan oleh segelintir media massa untuk mengais rejeki khususnya media online. Rachel Khan, Profesor komunikasi massa Universitas Filipina mencontohkan maraknya berita di media massa yang menggunakan sumber berasal dari cuitan pengguna media sosial tanpa proses klarifikasi.

Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya literasi media sosial pada orang tua yang berujung pada keengganan para orangtua mendampingi putra-putrinya ketika memanfaatkan akses internet. “Di Jepang persoalan pendampingan orangtua terhadap anak yang mengakses internet juga marak terjadi,” tutur Nagayuki Saito, peneliti Universitas Keio.

Menariknya para petinggi Facebook untuk Asia Pasifik, Roy Tan dan Michael Yoon yang diundang ke acara ini menegaskan platform media sosial itu terus mengembangkan cara agar pengguna memiliki kuasa dalam mengontrol konten apa yang mereka konsumsi maupun bagaimana mereka berhubungan di dunia maya.

“Kami memastikan, jika Anda tidak berkenan dengan sebuah konten. Satu laporan saja akan kami tindaklanjuti. Tidak benar dikatakan diperlukan banyak laporan untuk menangani sebuah konten negatif,” tegas Roy Tan.

Bisa disimpulkan sebetulnya saat ini kita dalam kondisi darurat melek informasi media sosial yang menuntut kita untuk berperan serta menanggulangi maraknya konten negatif di media sosial tersebut. Tidak sekadar frustrasi terhadap informasi negatif yang beredar di sekeliling kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com