Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Krisis Qatar, Sekadar Perang Opini dan Persepsi?

Kompas.com - 16/06/2017, 17:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

HAMPIR dua pekan sudah sejak Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Yaman memilih memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Tindakan yang kemudian disusul sejumlah negara lain di wilayah tersebut, antara lain Mauritius, Mauritania, dan Maladewa.

Perpecahan di antara Dewan Kerja Sama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC) ini mungkin lebih keras dibandingkan pemutusan keanggotaan Mesir dari Liga Arab pada 1979 karena berdamai dengan Israel di Washington DC pada 26 Maret 1979, setelah Persetujuan Camp David 1978.

Butuh waktu 10 tahun bagi Mesir untuk rujuk dengan Liga Arab yang lelah saling cakar tak berkesudahan antara Iran dan Irak sejak 1980. Mewakili Liga Arab, Raja Maroko saat itu Hassan II mengundang Presiden Mesir Hosni Mubarak untuk hadir dalam pertemuan Liga Arab di Casablanca pada 1989.

Namun berbeda dengan Mesir yang besar, Qatar terlalu mini dan kalah strategis dibandingkan Mesir. Jika Mesir bermain dalam konflik Perang Teluk dengan mendukung Irak, Qatar untuk melindungi dirinya saja memilih ‘menggadaikan’ wilayahnya sebagai pangkalan militer Amerika Serikat.

Sudah menjadi fakta Pangkalan Udara Al Udeid atau biasa juga disebut Bandara Abu Nakhlah di barat daya ibukota Doha adalah pangkalan terbesar Angkatan Udara Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.

Tangan penguasa Qatar yang terbuka lebar bahkan meminta, membuat pihak Amerika pada 2003 lantas memindahkan pusat operasi udara Timur Tengah mereka dari Pangkalan Prince Sultan di Arab Saudi ke Al Udeid.

Dengan melihat vitalnya Qatar bagi AS, sulit membayangkan negara yang dipimpin Sheikh Tamim Bin Hamad akan digilas dengan kekuatan militer serupa Kuwait oleh Irak pada 1990, lebih baik hapus jauh-jauh saja dari bayangan tersebut.

Saat ini saya justru lebih tertarik melihat kiprah para pembentuk persepsi, lebih tepatnya perusahaan hubungan masyarakat (Public Relations/PR) yang kerap kali adalah firma hukum sekaligus pelobi politik berbasis di Amerika Serikat yang dipekerjakan pihak-pihak yang berseteru dalam krisis Qatar kali ini.

Penggunaan perusahaan PR dalam konflik di wilayah Teluk bukan hal baru. Jika menengok ke belakang, saat Perang Teluk I pada 1991, Kerajaan Kuwait menyewa Hill and Knowlton Strategies untuk mengkampanyekan kekejaman Saddam Husein.

Hal serupa terjadi ketika The Rendon Group, yang sejak tahun 1990-an sangat dekat dengan badan intelijen AS, menggoreng isu yang meyakinkan rakyat Amerika bahkan dunia ketika invasi Amerika Serikat ke Irak dilakukan pada 2003. Rendon juga mendapat kontrak memoles citra Afghanistan pasca Taliban digulingkan.

Bahkan pemimpin Libya legendaris, Muammar Khadafi pun mempekerjakan Monitor Group dengan kontrak senilai 3 juta dollar AS di luar biaya akomodasi demi memoles citra Libya. Tak hanya memoles citra, Monitor yang tercatat resmi di Foreign Agents Registration (FARA) Kementerian Kehakiman Amerika Serikat juga bergerak sebagai pelobi politik.

Menariknya tiga firma humas tersebut semua berbasis di Amerika. Hill and Knowlton Strategies bermarkas di New York sementara Rendon di Washington DC sedangkan Monitor Group berbasis di Cambridge, Massachusetts.

Perang lobi dan citra

Mengapa harus menggandeng firma berbasis di Amerika Serikat? Tak lain karena ‘polisi dunia’ ya Amerika Serikat. Sudah menjadi semacam kepercayaan jika agresi militer atau politik dengan restu Amerika adalah kebenaran. Sebaliknya? Tak perlu dijawab panjang lebar.

Krisis Qatar sendiri berasal dari perang opini yang cukup panjang. Tudingan dukungan Doha terhadap Ikhwanul Muslimin dan Hamas hanya sebagian kecil dari pembentukan opini negara tetangga Qatar.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com