Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ervan Hardoko
wartawan

Wartawan, peminat isu-isu luar negeri dan olahraga, meski tidak gemar berolahraga

Amerika Serikat, Indonesia, dan "Post-power Syndrome"

Kompas.com - 23/01/2017, 06:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Jammeh, yang mungkin merasa belum berbuat banyak untuk rakyatnya selama berkuasa dua dekade, agaknya takut untuk menjadi warga biasa karena khawatir pembalasan dari rakyat.

Bahkan, beberapa negara Afrika harus membahas tempat pengasingan bagi Jammeh demi membujuk dia untuk mau menyerahkan kekuasaannya.

****

Indonesia, meski tak setua Amerika Serikat dan bukan negara yang secara politik kisruh macam Gambia, sudah memiliki beberapa mantan presiden.

Sejak Soeharto terguling pada 1998, negeri ini sudah memiliki empat mantan presiden, yaitu BJ Habibie, almarhum Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Keempat mantan presiden ini harus diakui memiliki kapasitas, kapabilitas, dan pengalaman yang sangat luas yang tentu sangat bermanfaat bagi bangsa ini jika digunakan dengan semestinya.

Memang dunia politik Indonesia belum seperti AS yang sudah hampir 250 tahun merdeka. Pengalaman manis dan pahit membuat AS memiliki sistem politik, yang meski tidak sempurna, setidaknya sangat stabil.

Nyaris tak ada mantan presiden AS yang mengecam kebijakan penerusnya.

Carter memang berbeda pendapat soal Korea Utara dengan pemerintahan Bill Clinton, atau juga soal perang Irak yang dikobarkan George W Bush.

Namun, Carter tak mengecam kebijakan pemerintah AS. Dia, dengan kemampuan dan jaringannya, melakukan lobi untuk menunjukkan dan memperjuangkan pendapat politiknya.

Donald Trump, pada hari pertamanya menjadi presiden, sudah berupaya untuk menyingkirkan program layanan kesehatan bagi rakyat miskin, Obamacare.

Hingga saat ini, belum ada kabar bahwa Obama kemudian berkomentar atau Partai Demokrat yang mengecam kebijakan presiden baru, meski mungkin saja kebijakan itu tak disukai.

Meski toh unjuk rasa menentang Trump kini masih digelar di AS, sejauh ini para politisi mereka, khususnya Obama, tak mengeluarkan pernyataan yang semakin memanaskan situasi.

Mungkin para politisi di AS, khususnya Obama yang baru saja menjadi mantan, menyadari betapa berbahayanya menyiram api menggunakan bensin sehingga mereka memercayakan semuanya kepada sistem yang sudah tersusun.

Seperti dikatakan David Maranniss, penulis biografi Barack Obama dan Bill Clinton, yang terpenting bagi Obama saat ini adalah keluarganya.

Pada usia paruh bayanya, Obama akan menghadapi masalah yang lebih besar yang harus dipusingkan selain post-power syndrome.

Kedua putrinya sudah beranjak dewasa dan tak lama lagi mereka akan lebih memilih berkumpul bersama teman-teman ketimbang menonton bioskop bersama ayahnya.

"Hal itu membuat saya sedih," kata Obama suatu ketika.

Sejumlah teman dekat Obama mengatakan, potensi "kehilangan" kedua putrinya yang beranjak remaja lebih membuat Obama sedih ketimbang meninggalkan Gedung Putih.

Jadi, para mantan pemimpin di negara mana pun seharusnya bisa memilih apakah mereka ingin seperti para mantan presiden AS yang bisa memberdayakan diri dan berguna bagi umat manusia, atau menjadi seperti pemimpin Gambia yang enggan lengser dan sibuk mencari suaka politik pasca-berkuasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com