Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ervan Hardoko
wartawan

Wartawan, peminat isu-isu luar negeri dan olahraga, meski tidak gemar berolahraga

Amerika Serikat, Indonesia, dan "Post-power Syndrome"

Kompas.com - 23/01/2017, 06:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Lengser dari tampuk kekuasaan, apalagi dari jabatan yang begitu mentereng seperti presiden Amerika Serikat, mungkin akan menimbulkan post-power syndrome berkepanjangan.

Jawabannya bisa benar bisa juga tidak, tergantung bagaimana sang mantan pemimpin mengelola dirinya. Kita ambil beberapa contoh beberapa mantan presiden AS.

George W Bush, presiden ke-43 AS, meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 2009 setelah menjabat dua periode.

Dalam wawancaranya kepada Texas Monthly, Bush mengungkapkan apa yang dirasakannya pada hari pertama bangun pagi di kediamannya sendiri sebagai warga biasa.

Saat bangun pagi, Bush ngopi sambil membaca koran, dan saat itu dia langsung merasa sangat bahagia.

Dia merasa bahagia karena masalah-masalah besar yang selama delapan tahun menjadi bebannya kini menjadi pekerjaan orang lain.

"Jadi, saya kemudian mengumpulkan anjing saya, Barney dan Beazley, naik ke atas truk pikap, berangkat ke kantor saya, dan mulai menulis anekdot untuk buku saya," ujar pendahulu Barack Obama itu.

Bahkan setelah tak menjadi presiden, Bush sama sekali tak tertarik dengan dunia politik.

Hal itu diungkapkan James Glassman, mantan Direktur Institut George W Bush, saat hadir dalam acara makan malam di kediaman sang mantan presiden.

Saat itu, kenang Glassman, para tamu, di antaranya Condoleeza Rice, masih membicarakan masalah politik. Namun, Bush sama sekali tidak.

"Sangat mengejutkan melihat bagaimana minimnya perhatian Bush terhadap dunia politik," kata Glassman.

Kegiatan Bush saat ini tak jauh-jauh dari kediamannya, terutama aktivitas yang banyak dilakukannya sebelum menjadi presiden.

Dia kini sering menggelar pesta barbeku bersama tetangga, main golf, dan mengendarai sepeda gunungnya.

Sesekali dia pergi ke Afrika tempat yayasan yang dia dirikan untuk merenovasi rumah sakit dan mengembangkan program dalam memerangi kanker serviks.

Pendek kata, Bush tak mengalami apa yang disebut sebagai post-power syndrome setelah kembali menjadi warga biasa.

Justru dengan predikat mantan presiden AS, Bush bisa menjual dirinya dan membangun "karier" baru yang lebih berguna dan mulia dibanding saat menjadi presiden.

****

Hal yang sama juga dilakukan Jimmy Carter setelah kalah telak dari Ronald Reagan dalam pemilihan presiden tahun 1980. Dengan hanya memerintah satu masa jabatan, Carter saat itu pasti terpukul.

Terlebih lagi, setelah pulang ke kampung halamannya di Plains, Georgia, Carter mendapati bisnis perkebunan kacang milik keluarganya terlilit utang hingga 1 juta dollar AS.

Selain itu, kediaman pribadinya yang ditinggalkan selama empat tahun benar-benar tak terurus dan butuh renovasi total.

Oleh karena itu, beberapa pekan pertama setelah tak menjadi presiden, Carter menghabiskan waktunya untuk memperbaiki rumahnya agar layak dihuni kembali.

Jimmy Carter Library/Wikipedia PM Israel Menachem Begin, Presiden AS Jimmy Carter dan Presiden Mesir Anwar Sadat saat akan menandatangani perjanjian Camp David yang berujung pada perdamaian anrara Mesir dan Israel yang akan mengubah peta politik di Timur Tengah.
Saat lengser dari kursi kepresidenan, Carter baru berusia 56 tahun, dan saat itu dia yakin masih bisa hidup hingga seperempat abad ke depan.

"Dia ingin hidupnya produktif dan mencoba terus mencari sesuatu untuk dia kerjakan," kata Phil Wise, Wakil Direktur Carter Center.

Salah satu cita-cita Carter, seorang penganut Kristen Baptis yang taat, setelah tak menjadi presiden, sangat sederhana.

"Dia ingin menjadi misionaris," kata Walter Mondale, wakil presiden pada masa Jimmy Carter, suatu ketika.

Nah, salah satu keberhasilan Carter pada masa pemerintahannya adalah kesepakatan damai Mesir dan Israel yang disponsorinya, dikenal sebagai perjanjian Camp David.

Bermodalkan prestasi itu, dia kemudian mendirikan Carter Center, sebuah institusi yang membuatnya menjadi diplomat "freelance".

Selama 30 tahun terakhir, Carter Center memantau lebih dari 100 pemilihan umum di dunia dan terlibat dalam pemberantasan penyakit guinea worm di Afrika.

Carter sangat sukses mendefinisikan kehidupan pasca-kepresidenan. Dia mengubah hidupnya menjadi sebuah petualangan kemanusiaan dan filantropis.

****

Gambia adalah sebuah negara kecil di Afrika Barat yang seluruh perbatasan daratnya dikelilingi Senegal.

Negeri terkecil di Afrika ini nyaris tak pernah terdengar warga dunia hingga pemilihan presiden yang digelar pada Desember lalu.

Petahana, Yahya Jammeh, sudah berkuasa di negeri mungil itu lebih dari dua dekade. Dalam pemilu, dia menghadapi kandidat oposisi Adama Barrow.

AFP Yahya Jammeh
Tak disangka, Jammeh kalah dalam pemilihan presiden karena rakyat Gambia ingin "penyegaran" sehingga memutuskan untuk memenangi sang pesaing.

Namun, Jammeh tak mau mengakui kekalahannya dan enggan lengser dari kursi empuk di istana presiden.

Alhasil, sang presiden terpilih kabur ke Senegal karena merasa nyawanya terancam.

Kisruh politik di negeri kecil itu akhirnya memicu negara-negara Afrika Barat bertindak dan bahkan mengancam akan melengserkan Jammeh dengan paksa.

Ribuan prajurit disiapkan lima negara Afrika Barat, sementara para pemimpin dari Mauritania dan Guinea membujuk Jammeh untuk mau turun takhta.

Mengapa Jammeh tak mau mengaku kalah? Kemungkinan besar dia mengalami post-power syndrome. Dia tak tahu harus melakukan apa setelah tak menjadi presiden.

Jabatan kepala negara, meski di negeri kecil dan miskin seperti Gambia, tetaplah merupakan pekerjaan idaman.

Mulai dari gaji yang besar, fasilitas nomor wahid yang disediakan negara, tinggal di istana yang mewah, pengawalan 24 jam, dan belum lagi kemungkinan mendapatkan keuntungan pribadi dari jabatan tersebut.

Mungkin di benak Yahya Jammeh, hidup sebagai warga biasa yang tak lagi memiliki kekuasaan sangat mengerikan dan sulit untuk dijalani.

Jammeh, yang mungkin merasa belum berbuat banyak untuk rakyatnya selama berkuasa dua dekade, agaknya takut untuk menjadi warga biasa karena khawatir pembalasan dari rakyat.

Bahkan, beberapa negara Afrika harus membahas tempat pengasingan bagi Jammeh demi membujuk dia untuk mau menyerahkan kekuasaannya.

****

Indonesia, meski tak setua Amerika Serikat dan bukan negara yang secara politik kisruh macam Gambia, sudah memiliki beberapa mantan presiden.

Sejak Soeharto terguling pada 1998, negeri ini sudah memiliki empat mantan presiden, yaitu BJ Habibie, almarhum Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

TRIBUNNEWS / HERUDIN Presiden Joko Widodo berbincang bersama mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (kiri), Susilo Bambang Yudhoyono (dua kanan), dan mantan wakil presiden Hamzah Haz (kanan) usai acara peresmian gedung baru KPK di Jalan Kuningan Persada, Kavling C4, Jakarta Selatan, Selasa (29/12/2015).
Keempat mantan presiden ini harus diakui memiliki kapasitas, kapabilitas, dan pengalaman yang sangat luas yang tentu sangat bermanfaat bagi bangsa ini jika digunakan dengan semestinya.

Memang dunia politik Indonesia belum seperti AS yang sudah hampir 250 tahun merdeka. Pengalaman manis dan pahit membuat AS memiliki sistem politik, yang meski tidak sempurna, setidaknya sangat stabil.

Nyaris tak ada mantan presiden AS yang mengecam kebijakan penerusnya.

Carter memang berbeda pendapat soal Korea Utara dengan pemerintahan Bill Clinton, atau juga soal perang Irak yang dikobarkan George W Bush.

Namun, Carter tak mengecam kebijakan pemerintah AS. Dia, dengan kemampuan dan jaringannya, melakukan lobi untuk menunjukkan dan memperjuangkan pendapat politiknya.

Donald Trump, pada hari pertamanya menjadi presiden, sudah berupaya untuk menyingkirkan program layanan kesehatan bagi rakyat miskin, Obamacare.

Hingga saat ini, belum ada kabar bahwa Obama kemudian berkomentar atau Partai Demokrat yang mengecam kebijakan presiden baru, meski mungkin saja kebijakan itu tak disukai.

Meski toh unjuk rasa menentang Trump kini masih digelar di AS, sejauh ini para politisi mereka, khususnya Obama, tak mengeluarkan pernyataan yang semakin memanaskan situasi.

Mungkin para politisi di AS, khususnya Obama yang baru saja menjadi mantan, menyadari betapa berbahayanya menyiram api menggunakan bensin sehingga mereka memercayakan semuanya kepada sistem yang sudah tersusun.

Seperti dikatakan David Maranniss, penulis biografi Barack Obama dan Bill Clinton, yang terpenting bagi Obama saat ini adalah keluarganya.

Pada usia paruh bayanya, Obama akan menghadapi masalah yang lebih besar yang harus dipusingkan selain post-power syndrome.

Kedua putrinya sudah beranjak dewasa dan tak lama lagi mereka akan lebih memilih berkumpul bersama teman-teman ketimbang menonton bioskop bersama ayahnya.

"Hal itu membuat saya sedih," kata Obama suatu ketika.

Sejumlah teman dekat Obama mengatakan, potensi "kehilangan" kedua putrinya yang beranjak remaja lebih membuat Obama sedih ketimbang meninggalkan Gedung Putih.

Jadi, para mantan pemimpin di negara mana pun seharusnya bisa memilih apakah mereka ingin seperti para mantan presiden AS yang bisa memberdayakan diri dan berguna bagi umat manusia, atau menjadi seperti pemimpin Gambia yang enggan lengser dan sibuk mencari suaka politik pasca-berkuasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com