Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ervan Hardoko
wartawan

Wartawan, peminat isu-isu luar negeri dan olahraga, meski tidak gemar berolahraga

Amerika Serikat, Indonesia, dan "Post-power Syndrome"

Kompas.com - 23/01/2017, 06:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Saat lengser dari kursi kepresidenan, Carter baru berusia 56 tahun, dan saat itu dia yakin masih bisa hidup hingga seperempat abad ke depan.

"Dia ingin hidupnya produktif dan mencoba terus mencari sesuatu untuk dia kerjakan," kata Phil Wise, Wakil Direktur Carter Center.

Salah satu cita-cita Carter, seorang penganut Kristen Baptis yang taat, setelah tak menjadi presiden, sangat sederhana.

"Dia ingin menjadi misionaris," kata Walter Mondale, wakil presiden pada masa Jimmy Carter, suatu ketika.

Nah, salah satu keberhasilan Carter pada masa pemerintahannya adalah kesepakatan damai Mesir dan Israel yang disponsorinya, dikenal sebagai perjanjian Camp David.

Bermodalkan prestasi itu, dia kemudian mendirikan Carter Center, sebuah institusi yang membuatnya menjadi diplomat "freelance".

Selama 30 tahun terakhir, Carter Center memantau lebih dari 100 pemilihan umum di dunia dan terlibat dalam pemberantasan penyakit guinea worm di Afrika.

Carter sangat sukses mendefinisikan kehidupan pasca-kepresidenan. Dia mengubah hidupnya menjadi sebuah petualangan kemanusiaan dan filantropis.

****

Gambia adalah sebuah negara kecil di Afrika Barat yang seluruh perbatasan daratnya dikelilingi Senegal.

Negeri terkecil di Afrika ini nyaris tak pernah terdengar warga dunia hingga pemilihan presiden yang digelar pada Desember lalu.

Petahana, Yahya Jammeh, sudah berkuasa di negeri mungil itu lebih dari dua dekade. Dalam pemilu, dia menghadapi kandidat oposisi Adama Barrow.

AFP Yahya Jammeh
Tak disangka, Jammeh kalah dalam pemilihan presiden karena rakyat Gambia ingin "penyegaran" sehingga memutuskan untuk memenangi sang pesaing.

Namun, Jammeh tak mau mengakui kekalahannya dan enggan lengser dari kursi empuk di istana presiden.

Alhasil, sang presiden terpilih kabur ke Senegal karena merasa nyawanya terancam.

Kisruh politik di negeri kecil itu akhirnya memicu negara-negara Afrika Barat bertindak dan bahkan mengancam akan melengserkan Jammeh dengan paksa.

Ribuan prajurit disiapkan lima negara Afrika Barat, sementara para pemimpin dari Mauritania dan Guinea membujuk Jammeh untuk mau turun takhta.

Mengapa Jammeh tak mau mengaku kalah? Kemungkinan besar dia mengalami post-power syndrome. Dia tak tahu harus melakukan apa setelah tak menjadi presiden.

Jabatan kepala negara, meski di negeri kecil dan miskin seperti Gambia, tetaplah merupakan pekerjaan idaman.

Mulai dari gaji yang besar, fasilitas nomor wahid yang disediakan negara, tinggal di istana yang mewah, pengawalan 24 jam, dan belum lagi kemungkinan mendapatkan keuntungan pribadi dari jabatan tersebut.

Mungkin di benak Yahya Jammeh, hidup sebagai warga biasa yang tak lagi memiliki kekuasaan sangat mengerikan dan sulit untuk dijalani.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com