Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Trump di Mata Zach

Kompas.com - 12/11/2016, 11:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Zachary (atau Zach) Shinske adalah pemuda yang pemalu, berbadan tinggi dengan rambut berwarna merah.

Dia memiliki tutur kata yang lembut tapi pemikirannya serius. Penerima beasiswa yang mengambil kuliah jurusan Sejarah dan Bahasa Jerman di University of Michigan, salah satu universitas bergengsi di Amerika, ini begitu antusias ketika kami mengobrol soal Donald Trump.

"Dia mempunyai gaya sendiri dalam menyampaikan pernyataan. Dia bahkan tidak membaca teks pidato yang telah disiapkan. Dia akan menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Saya menyukainya, sangat-sangat menyukainya. Dia mengatakan apa yang ingin dia katakan. Dia tidak tunduk pada siapa pun."

Bagi Zach, yang berasal dari St. Josephs, sebuah kota klasik Rust Belt dekat Chicago yang berseberangan dengan Danau Michigan, Trump adalah seorang yang otentik, orisinal: dan itu penting.

"Ini akan menjadi kebalikan dari gaya pemerintahan Barack Obama yang telah memecah belah negeri ini lebih dari siapa pun. Obama membuat berbagai kesepakatan besar namun tidak menemukan cara memperbaiki perpecahan," tutur Zach.

Ketika saya tanyakan apakah pandangannya itu tidak terkesan rasis, Zach menjelaskan, "Saya tahu beberapa pendukung Trump menentang gagasan Presiden berkulit hitam. Saya tidak setuju dengan pandangan itu. Saya bahkan penggemar berat Ben Carson (yang berkulit hitam) sebelum dia kalah dari pemilihan pendahuluan calon presiden Partai Republik."

Dalam pemikiran Zach, Obama adalah pemimpin (pembawa) bencana. Meskipun dia setuju Obama adalah Presiden AS ke-44 yang bersih dari tuduhan korupsi dan ketidakjujuran, namun dia menggelengkan kepala (tanda tidak setuju) atas kebijakan jaminan kesehatan "ObamaCare" dan caranya mengatasi masalah di Timur Tengah.

"ISIS tumbuh kuat di masa pemerintahannya. Sekarang dunia memandang, Amerika lemah dalam urusan luar negerinya. Apakah Anda memperhatikan yang dilakukan Presiden Filipina?"

Zach lebih bersemangat lagi ketika kami mendiskusikan soal ekonomi, khususnya sektor manufaktur, sektor yang sangat dekat dengan para pemilih Michigan, yang membuat mereka mengalihkan suaranya kepada Trump pada Selasa (8/11/2016) lalu mengejutkan kubu Hillary.

"Amerika tidak mendapatkan cukup manfaat dari NAFTA. Saya mengerti ketika para pengusaha ingin memindahkan pasar mereka untuk meraih keuntungan lebih besar lagi. Tapi saya setuju dengan Trump bahwa mereka seharusnya tetap di Amerika dan mendukung industri kita sendiri."

Ketika saya tanyakan apakah rakyat bisa bersabar untuk mendapatkan pekerjaan, dia menjawab dengan lugas, "Mereka sudah menunggu terlalu lama. Apakah kemudian mereka harus menunggu lebih lama lagi?"

Sekali lagi, Zach meyakinan saya bahwa dia betul-betul seorang Republik.

Namun dia mengakui jika bukan karena Trump, negara bagian di wilayah Midwest tidak akan pernah memilih Partai Demokrat.

Sebagai penganut Kristen, Zach beribadah ke gereja Lutheran dan karena itu, dia memiliki pandangan yang kuat terhadap isu aborsi dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender)

Memang ada keraguan terkait afiliasi keagamaan Trump. "Saya pikir, dia Kristen," ucap Zach sebelum beralih ke soal lain.

Zach kembali menggelengkan kepalanya ketika kami membahas Clinton dan kampanyenya. Dia merasa majunya Hillary adalah lelucon. "Suaminya hampir didakwa tapi dia malah ingin mengambil kursi kepresidenan. Dia tidak dapat dipercaya."

Saya pribadi merasa faktor kunci keberhasilan Trump adalah dia seolah mampu menghilangkan kefrustasian dan kelemahan warga kulit putih Amerika.

Sementara soal lapangan pekerjaan dan ekonomi adalah isu yang kritis, antrean panjang di luar aula dan stadion, disertai nyanyian penuh fanatisme, menjadi pintu masuk bagi Trump untuk mengembalikan pentingnya identitas ras putih warga Amerika. 

Saya menduga memang banyak pendukung Trump yang benar-benar merasa dikucilkan dari isu ras, dan politik komunitas--yang menjadi jantung "Koalisi Pelangi"-nya Obama—berkumpul untuk mengembalikan Gedung Putih seperti pada 2008.

Kemenangan Obama kala itu memang berpengaruh besar terhadap kaum minoritas Amerika.
Politik identitas telah memberikan mereka kekuatan dan pengaruh, atau seperti yang dikatakan Zach, "membuat berbagai kesepakatan besar" yang melemahkan sebagian besar warga kulit putih Amerika, terutama kaum konservatif.

Dijanjikan akan mendapatkan perlakukan berbeda dari sebelumnya, dapat dikatakan mereka yang memberikan dukungan kemenangan bagi Trump adalah lelaki perempuan kulit putih yang takut kehilangan posisi mereka di lingkungan sosial.

Ngobrol dengan Zach pasca pemilihan presiden selesai, dia mengatakan, "Saya ingin Trump fokus menghapuskan ObamaCare, membuat janji dengan Mahkamah Agung, dan melakukan negosiasi ulang atas kesepakatan-kesepakatan perdagangan, serta menyangkal kesepakatan dengan Iran. Amerika seharusnya tidak membuat kesepakatan dengan teroris."

Tentu semua ini hanya bisa diharapkan.

Namun ada poin yang menarik dari Zach di akhir obrolan kami, ketika dia mengatakan, "Saya kira, saya tidak akan takut berbicara seperti ini. Saya tidak memiliki kekhawatiran dengan ‘PC culture’ (budaya politik yang benar)."

Berbincang dengan seorang pemuda yang sopan dan bijak seperti Zach, hampir mustahil membayangkannya berkata sesuatu yang tidak dia inginkan. Dia pun bahkan tak mau menakut-nakuti seekor tikus.

Tetapi retorika emosional dan pandangan anti-Muslim Trump memang telah melewati batas-batas yang diperbolehkan.

Alyiah Al-Bonijim, seorang keturunan Arab-Amerika yang juga mahasiswa University of Michigan mengatakan kepada saya, "Saya kira ancamannya bukan pada Trump, tapi pada orang-orang yang mendukung dia. Mereka inilah yang sangat rasis dan sekarang mereka memiliki pemimpin yang akan menguatkan rasisme mereka.” 

Trump seperti menjadi wujud kemarahan dan keresahan warga kulit putih Amerika yang ingin menentang "Koalisi Multikultural" Obama.

Dia pun berjanji pada pendukungnya akan mengembalikan kenikmatan yang pernah mereka terima di masa lalu, sebuah masa dimana mereka merasa lebih baik.

Tapi apakah dia dapat menepati janji-janjinya? Apa yang akan terjadi seandainya dia gagal mewujudkannya?

Seekor Kraken—monster air raksasa dalam kisah Norwegia—telah lepas.

*Artikel CERITALAH USA--akan terbit setiap hari mulai Kamis (3/11/2016)-- merupakan rangkaian dari CERITALAH ASEAN, yang ditulis dari perjalanan Karim Raslan selama 10 hari ke AS dalam rangka mengamati pemilu di sana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com