Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peta Politik Turki Pasca Kudeta Gagal

Kompas.com - 19/07/2016, 19:20 WIB

Dengan kata lain, setelah tahun 2002, Erdogan dan Gulen sama-sama berada pada masa kejayaannya.

Akan tetapi, belakangan, persisnya sejak tahun 2010, mulai muncul di permukaan konflik antara Erdogan dan Gulen, alias mereka pecah kongsi.

Saat itu konflik dua sahabat lama itu dipicu oleh aksi Gulen mengkritik keras pemerintahan Erdogan yang mendukung pengiriman kapal Mavi Marmara untuk menembus blokade Jalur Gaza pada tahun 2010.

Bagi Erdogan saat itu, pengiriman kapal Mavi Marmara merupakan bagian dari pertarungan regional dengan Israel.

Sejak itu, Erdogan dan kubunya mulai menabuh genderang tentang adanya negara tandingan (parallel state) atau negara dalam negara yang merongrong kedaulatan negara Turki.

Nama negara bayangan adalah sebutan untuk jaringan Jamaah Fethullah Gulen yang saat itu dituduh berusaha membangun pengaruh di semua lini lembaga negara, seperti militer, kepolisian, dan peradilan.

Pada kenyataannya, gerakan Gulenis memang sudah merasuk jauh ke tubuh militer, kepolisian, dan peradilan.

Karena itu, dalam lima tahun terakhir ini, bisa disebut panggung politik Turki diwarnai perseteruan sengit antara Gulen (Islamis) dan Erdogan (Islamis), bukan lagi pertarungan kaum Islamis melawan kaum sekuler.

Islamis vs Islamis

Upaya kudeta militer pada Jumat malam lalu adalah bagian dari konflik Gulen-Erdogan itu atau Islamis vs Islamis.

Itulah sebabnya, kubu sekuler, termasuk CHP, menolak keras kudeta militer tersebut karena kubu sekuler melihat itu akibat konflik internal Islamis, bukan Islamis versus sekuler.

Kudeta militer kali ini juga sudah tidak lagi mengusung jargon menjaga ajaran sekuler Ataturk, seperti kudeta sebelumnya.

Sikap kubu sekuler itu bukan karena mendukung Erdogan, tetapi semata-mata demi kepentingan lebih besar lagi, yaitu menjaga kehidupan demokrasi.

Hal itulah yang menyebabkan militer pro kudeta menggempur gedung parlemen di Ankara, karena partai-partai politik dari semua aliran ideologi menolak kudeta militer.

Itu pula yang menjadi faktor pecahnya militer, antara pro dan kontra kudeta. Bahkan, sebagian besar satuan militer menolak kudeta.

Akhirnya upaya kudeta itu gagal total lantaran tidak mendapat dukungan dari sebagian besar satuan militer, partai-partai politik, dan terutama rakyat Turki dari semua golongan dan aliran ideologinya. (Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)

(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2016, di halaman 8 dengan judul "Peta Politik Pasca Kudeta Gagal").

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com