Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yophiandi Kurniawan
wartawan

Wartawan Kompas TV yang tertarik di bidang politik, hukum, keamanan, kebijakan publik dan masalah internasional. Saat ini sebagai produser untuk program buletin.

Waikiki

Kompas.com - 12/07/2016, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pembatalannya dua kali ke Indonesia—sekaligus juga ke dua negara yang sangat penting Korea Selatan, sekutunya, dan Tiongkok yang sedang berada dalam performa puncak pada 2010--, adalah karena dia harus bertarung mengegolkan usulan Undang-Undang Kesehatan alias Health Care Bill, yang menggoyang sistem jaminan kesehatan Amerika Serikat.

Bahkan banyak rekan separtainya, Partai Demokrat, ragu atau menentang terang-terangan ide itu. Lawan politiknya, mencapnya sebagai pendukung sosialis. Hingga Nancy Pelosi, Ketua DPR—rekan separtainya, minta Obama tidak keluar negeri dulu, sebelum usulan itu diterima dalam legislasi 2010.

******

Teriakan “empat tahun lagi”, meskipun akhirnya bisa dianggap lelucon—karena Konstitusi Amerika membatasi masa jabatan presiden dua periode--, diam-diam juga diinginkan para warga dengan sepenuh hati. Tidak termasuk komunitas warga Amerika keturunan Mexico yang diundang makan dalam acara Cinco de Mayo, karena memang buat kaum minoritas, umumnya Obama sosok populer.

Tapi di Stadion Nasional, tahun lalu, anggota Kongres dari Partai Demokrat tak kalah kencang berteriak “empat tahun lagi” saat melihat sosok Obama yang hadir dalam acara tahunan pembukaan Congressional Baseball tournament.

Dalam susunan acara, tak ada jadwal kehadiran sang presiden. Dan Obama memang ingin membuat kejutan kepada rekan-rekannya.

Padahal, pertarungan di partai berlambang keledai itu sedang dimulai untuk menentukan siapa yang akan maju mewakili partai menjadi kandidat calon presiden menantang kandidat dari Partai Republik. Saat itu masih ada Bernie Sanders, Hillary Clinton, Joe Biden, Jim Webb, Martin O’ Malley, dan Lincoln Chafee.

Saat ini, Hillary Clinton, secara real suara delegasi—pemilu presiden Amerika Serikat adalah perwakilan— sudah mengalahkan Bernie Sanders. Tapi Sanders menolak menyerah dan tetap akan berpidato di Konvensi Demokrat  25 hingga 28 Juli. Di kubu seberang, ada Donald Trump, yang sudah memastikan jadi wakil Partai Republik.

Lagi, soal pertarungan pemilihan presiden ini. Dengan sistem perwakilan, masih sulit diprediksi siapa yang akan menang. Meski untuk popularitas istri Bill Clinton, Hillary masih unggul. Tapi pelajaran Al Gore, rekan separtai Hillary dan Obama, yang menang secara popularitas, tapi kalah dari George Walker Bush, patut diperhitungkan.

Dalam perbincangan yang tak serius, saya sempat bertanya ke para mahasiswa dan warga Amerika, kriteria seperti apakah yang akan mereka pilih saat pemungutan suara. Hasilnya sudah dapat diduga.

Pemilu Presiden Amerika yang tinggal kurang dari empat bulan, juga dipantau di kalangan elit politik Indonesia. Tapi tak bergaung di level warga umumnya.

Dan bila kecenderungan sifat orang Indonesia dan Amerika bisa tergambar, dalam tulisan Thomas B. Pepinsky, “Politics, Public Opinion, and the US-Indonesian Comprehensive Partnership”, yang dibuat pada 2010, maka soal pergantian kekuasaan di Amerika Serikat, tak pernah digubris warga Indonesia. Kecuali saat Obama.

Tapi, seyogyanya, paling tidak di masa informasi tersebar dengan masif, siapa yang jadi presiden dan siapa saja kabinetnya, sepertinya mulai perlu diperhatikan warga Indonesia, terutama kalangan intelektual. Dan tentu saja pengambil keputusan negeri dan pebisnis.

Terutama di tengah pusaran arus Asia yang semakin penting saat ini bagi dunia—termasuk bagi Amerika Serikat. Baik bagi bisnis, poitik, dan populasi. Pun potensi konflik kini ada di Asia, khususnya soal Laut Cina Selatan.

Karena “bermain” di level Asia inilah, maka seyogyanya, elit politik tak cuma memantau, namun “ikut mewarnai”. Sebab Indonesia sudah menjadi salah satu titik panas dalam kancah internasional, termasuk dengan sepak terjang presiden Joko Widodo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com