Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yophiandi Kurniawan
wartawan

Wartawan Kompas TV yang tertarik di bidang politik, hukum, keamanan, kebijakan publik dan masalah internasional. Saat ini sebagai produser untuk program buletin.

Waikiki

Kompas.com - 12/07/2016, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

“Four more years (empat tahun lagi),” kata ratusan anggota parlemen Kanada berulang ulang, kepada Presiden Barack Obama usai berpidato di parlemen Kanada, 30 Juni lalu.

Obama yang memberikan pidato kenegaraan atas undangan Perdana Menteri Justin Trudeau, telah memukau anggota parlemen Kanada sejak masuk ke ruang sidang parlemen. Tepuk tangan tak henti terdengar selama hampir tujuh menit.

Kunjungan pada akhir Juni itu adalah balasan atas kunjungan Trudeau pada Maret lalu, yang mencairkan hubungan Kanada dan Amerika Serikat yang membeku sejak enam tahun terakhir.

Perdana Menteri Kanada sebelumnya, Stephen Harper membuat kesal pemerintahan Obama, karena memaksakan pipa kilang minyak Keystone XL, yang akhirnya diblokir Obama.

Obama begitu jadi primadona di ruang parlemen Kanada dalam pidato selama 45 menit. Tawa dan tepuk tangan tak henti diberikan kala Obama menyinggung perubahan politik global dan hubungan Amerika Kanada yang naik turun.

Namun, yang juga membuat anggota parlemen Kanada tertawa adalah pernyataan Obama yang dijahit sedemikian rupa untuk menyinggung calon presiden Partai Republik Donald Trump. Soal ketakutan yang jadi bahan kampanye Trump, hingga memutus hubungan Amerika dengan negeri lain. Tepuk tangan kehormatan dan tawa jadi respon para anggota parlemen.

Huffington Post menggambarkan pidato Obama sebagai memberi ruang buat rekan separtainya, Hillary Clinton, yang masih harus berjuang meyakinkan para elit Partai Demokrat memilihnya sebagai calon partai berlambang keledai itu, ketimbang saingannya Bernie Sanders.

Obama membantu Clinton karena ide-idenya yang bisa diterima oleh pemimpin negeri lain. Tapi apakah bila Hillary Clinton memerintah Amerika Serikat, ide-ide yang sama dengan Obama bisa sebangun dengan sang presiden yang akan berakhir masa jabatannya di akhir 2016 ini?

Yang pasti permintaan agar Obama sekali lagi maju sebagai presiden Amerika Serikat, bukan hanya dilontarkan orang Kanada, tapi juga warga negara Amerika, yang muda terutama. Juga para pegawai di Gedung Putih.

Di sana, konon Obama memberikan kehangatan dalam praktek politik Amerika. Termasuk keceriaan di Gedung Putih.

*********

Pantai Waikiki, di Hawaii, pada akhir April lalu ramai seperti biasanya. Dari Ala Wai Boulevard, kami bertiga belas, yang jadi “tamu” lembaga pemikir East West Center, menjejak kaki kami ke pasir di pantai yang terkenal di seantero dunia itu.

Pasir pantai di negara bagian kelima puluh Amerika Serikat itu terasa hangat di kaki kami yang mesti bertelanjang kaki, sambil menenteng sepatu masing-masing.

Di depan kami ada puluhan perahu yang membawa turis melihat pemandangan Samudera Pasifik. Ada juga kapal pesiar di ujung cakrawala berlayar pelan. Dekat dengan pantai, ada puluhan remaja berenang di atas papan selancarnya. Dan beberapa pemuda lain, menenteng papan selancar di pantai.

Derek Ferrar yang mengantar kami sebelum saya turun berkata, ”Nikmatilah tempat Obama biasa bersantai.”

Derek adalah salah satu ahli budaya Hawaii di East West Centre, salah satu lembaga pemikir di Amerika Serikat.

Sebelum sampai di Waikiki, kami sempat mampir di Makapuu, lalu sebuah pantai lain dengan gelombang yang lebih dahsyat. Di sini, mobil dengan papan selancar di atasnya berjejer rapi.

Sebagian remaja, meski sudah jam 5 sore, masih menenteng papan selancar menuju gelombang pantai. “Di sini tempat favorit Obama remaja (berselancar),” kata Derek.

Dari Derek, dan juga para warga Hawaii, kami mendapat cerita bagaimana Obama besar di sana sebelum menuju Amerika daratan. Periode ini setelah Obama kembali dari Jakarta, tempatnya singgah selama empat tahun pada saat sekolah dasar.

Salah satu warga Hawaii, Craig bercerita Obama juga pernah nakal, mengisap rokok, dan lari ketakutan saat “tertangkap basah” guru sekolahnya. Lokasinya, satu blok dari apartemen sang nenek, Punahou Circle Apartment.

Selama beberapa tahun, di sanalah lingkungan Obama tinggal, Ponahou. Sekolahnya, cuma beda dua blok saja, dekat dengan beberapa pusat perbelanjaan.

Barack Obama besar di tanah Hawaii, tanah yang penuh warna budaya. Asia Timur dan Tenggara mendominasi, mulai dari Jepang, Tiongkok, Filipina dan Vietnam, dan tentu saja warga dan budaya asli negeri di tengah Samudera Pasifik. Toleransi dan keberpihakan pada ide baru, orang muda, dan kaum minoritas terasa kental.

Ini hal yang membedakannya dengan sikap dasar presiden atau pemimpin Amerika lain yang dikenal publik Amerika. “Menurut saya, dia keren, karena bisa tampil agak berbeda,” ujar warga lain yang kami temui dalam sebuah acara resepsi.

Kehidupannya, yang singkat di Jakarta, Indonesia, adalah pelengkap, dengan sebagian besar masa remajanya dihabiskan di Hawaii, diasuh sang nenek dan berada di lingkungan orang yang mencintai “dunia selain Barat”.

Ibunya, Ann Dunham lebih dulu menjadi antropolog yang meneliti soal-soal Indonesia. Di bawah bimbingan Alice G Dewey, dosen Univesitas Hawaii, yang pecinta Yogyakarta, Ann dibawa mencintai segala hal berbau Asia.

Menurut Teguh Santosa, peneliti hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah, dalam pengantar buku Pendekar-Pendekar Besi Nusantara, yang diangkat dari disertasi Ann Dunham, masyarakat Amerika bisa melihat bagaimana transformasi seorang ibu mempengaruhi alam pikiran sang anak. Termasuk tentu saja lingkungan Obama di Hawaii, termasuk ilmu berselancar, yakni mengatasi dan “menari” bersama gelombang.

Inilah mungkin yang membuat Obama disukai publik “non Barat”, termasuk di Asia. Di Indonesia sendiri, kedatangannya yang hanya 24 jam sangat dinanti. Setelah dua kali batal, pada 9 November Air Force One mendaratkan Presiden Barack Obama di Halim Perdanakusuma.

Presiden Obama punya jadwal meneken perjanjian Comprehensive Partnership Indonesia-Amerika dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia, lewat siaran langsung satu stasiun televisi, warga Jakarta senyam senyum melihat Obama. Ucapannya,”Pulang kampung nih,” kontan membuat histeris seisi kantor tempat saya menunggu seseorang di bilangan Sudirman, saat itu, 9 November 2010.

Tapi memang, sang presiden bukan superman. Seperti yang sudah diingatkan Teguh, kembali dalam pengantar buku Ann terbitan Mizan. Amerika adalah sebuah sistem negara, memiliki perangkat dalam membela kepentingan nasionalnya. Ada banyak “pemilik saham” dalam setiap masa pemerintahan, bahkan sampai Amerika berusia 240 tahun pada 4 Juli 2016.

Pembatalannya dua kali ke Indonesia—sekaligus juga ke dua negara yang sangat penting Korea Selatan, sekutunya, dan Tiongkok yang sedang berada dalam performa puncak pada 2010--, adalah karena dia harus bertarung mengegolkan usulan Undang-Undang Kesehatan alias Health Care Bill, yang menggoyang sistem jaminan kesehatan Amerika Serikat.

Bahkan banyak rekan separtainya, Partai Demokrat, ragu atau menentang terang-terangan ide itu. Lawan politiknya, mencapnya sebagai pendukung sosialis. Hingga Nancy Pelosi, Ketua DPR—rekan separtainya, minta Obama tidak keluar negeri dulu, sebelum usulan itu diterima dalam legislasi 2010.

******

Teriakan “empat tahun lagi”, meskipun akhirnya bisa dianggap lelucon—karena Konstitusi Amerika membatasi masa jabatan presiden dua periode--, diam-diam juga diinginkan para warga dengan sepenuh hati. Tidak termasuk komunitas warga Amerika keturunan Mexico yang diundang makan dalam acara Cinco de Mayo, karena memang buat kaum minoritas, umumnya Obama sosok populer.

Tapi di Stadion Nasional, tahun lalu, anggota Kongres dari Partai Demokrat tak kalah kencang berteriak “empat tahun lagi” saat melihat sosok Obama yang hadir dalam acara tahunan pembukaan Congressional Baseball tournament.

Dalam susunan acara, tak ada jadwal kehadiran sang presiden. Dan Obama memang ingin membuat kejutan kepada rekan-rekannya.

Padahal, pertarungan di partai berlambang keledai itu sedang dimulai untuk menentukan siapa yang akan maju mewakili partai menjadi kandidat calon presiden menantang kandidat dari Partai Republik. Saat itu masih ada Bernie Sanders, Hillary Clinton, Joe Biden, Jim Webb, Martin O’ Malley, dan Lincoln Chafee.

Saat ini, Hillary Clinton, secara real suara delegasi—pemilu presiden Amerika Serikat adalah perwakilan— sudah mengalahkan Bernie Sanders. Tapi Sanders menolak menyerah dan tetap akan berpidato di Konvensi Demokrat  25 hingga 28 Juli. Di kubu seberang, ada Donald Trump, yang sudah memastikan jadi wakil Partai Republik.

Lagi, soal pertarungan pemilihan presiden ini. Dengan sistem perwakilan, masih sulit diprediksi siapa yang akan menang. Meski untuk popularitas istri Bill Clinton, Hillary masih unggul. Tapi pelajaran Al Gore, rekan separtai Hillary dan Obama, yang menang secara popularitas, tapi kalah dari George Walker Bush, patut diperhitungkan.

Dalam perbincangan yang tak serius, saya sempat bertanya ke para mahasiswa dan warga Amerika, kriteria seperti apakah yang akan mereka pilih saat pemungutan suara. Hasilnya sudah dapat diduga.

Pemilu Presiden Amerika yang tinggal kurang dari empat bulan, juga dipantau di kalangan elit politik Indonesia. Tapi tak bergaung di level warga umumnya.

Dan bila kecenderungan sifat orang Indonesia dan Amerika bisa tergambar, dalam tulisan Thomas B. Pepinsky, “Politics, Public Opinion, and the US-Indonesian Comprehensive Partnership”, yang dibuat pada 2010, maka soal pergantian kekuasaan di Amerika Serikat, tak pernah digubris warga Indonesia. Kecuali saat Obama.

Tapi, seyogyanya, paling tidak di masa informasi tersebar dengan masif, siapa yang jadi presiden dan siapa saja kabinetnya, sepertinya mulai perlu diperhatikan warga Indonesia, terutama kalangan intelektual. Dan tentu saja pengambil keputusan negeri dan pebisnis.

Terutama di tengah pusaran arus Asia yang semakin penting saat ini bagi dunia—termasuk bagi Amerika Serikat. Baik bagi bisnis, poitik, dan populasi. Pun potensi konflik kini ada di Asia, khususnya soal Laut Cina Selatan.

Karena “bermain” di level Asia inilah, maka seyogyanya, elit politik tak cuma memantau, namun “ikut mewarnai”. Sebab Indonesia sudah menjadi salah satu titik panas dalam kancah internasional, termasuk dengan sepak terjang presiden Joko Widodo.

Yang kurang, tindakan presiden Jokowi apakah bisa diartikan sebagai pemimpin orkestrasi—seperti seharusnya-- atau sekedar “hit and run”, lalu kembali ke pertarungan elit politik lokal dan “interlokal”.

Namun yang pasti, di seberang sana, apa yang akan terjadi kemudian, Amerika tak akan lagi dipimpin Obama setelah 2016 berlalu. Siapapun yang menang dalam pemilu November 2016, akan memberi kesempatan baru bagi “pemilik saham” di Amerika maupun yang terkoneksi dengannya, untuk bisa bermain lebih leluasa bagi negerinya.

“Para pemilik saham”, seperti pebisnis, politisi, kelompok penekan, dan warga biasa, menjadi bagian dari sistem politik Amerika yang sudah ajeg.

Dan Obama yang dielu-elukan warga “non Barat” sepertinya akan jadi pengisi buku sejarah, karena koneksi berikutnya akan sulit diikuti penggantinya, siapapun dia. Termasuk Hillary yang ikut dalam satu termin pemerintahan Obama sebagai menteri luar negeri.

Konon Bernie Sanders, lebih mirip dengan Obama dalam hal ide, mengurangi ketidaksetaraan sosial ekonomi dan memangkas dana negara di bidang politik.

Tentu saja, siapapun pemenangnya, Hillary Clinton atau Donald Trump, tentu harus akomodatif dengan kepentingan “para pemilik saham” di Amerika Serikat, baik di tingkat elit, maupun warga biasa.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com