Derek adalah salah satu ahli budaya Hawaii di East West Centre, salah satu lembaga pemikir di Amerika Serikat.
Sebelum sampai di Waikiki, kami sempat mampir di Makapuu, lalu sebuah pantai lain dengan gelombang yang lebih dahsyat. Di sini, mobil dengan papan selancar di atasnya berjejer rapi.
Sebagian remaja, meski sudah jam 5 sore, masih menenteng papan selancar menuju gelombang pantai. “Di sini tempat favorit Obama remaja (berselancar),” kata Derek.
Dari Derek, dan juga para warga Hawaii, kami mendapat cerita bagaimana Obama besar di sana sebelum menuju Amerika daratan. Periode ini setelah Obama kembali dari Jakarta, tempatnya singgah selama empat tahun pada saat sekolah dasar.
Salah satu warga Hawaii, Craig bercerita Obama juga pernah nakal, mengisap rokok, dan lari ketakutan saat “tertangkap basah” guru sekolahnya. Lokasinya, satu blok dari apartemen sang nenek, Punahou Circle Apartment.
Selama beberapa tahun, di sanalah lingkungan Obama tinggal, Ponahou. Sekolahnya, cuma beda dua blok saja, dekat dengan beberapa pusat perbelanjaan.
Barack Obama besar di tanah Hawaii, tanah yang penuh warna budaya. Asia Timur dan Tenggara mendominasi, mulai dari Jepang, Tiongkok, Filipina dan Vietnam, dan tentu saja warga dan budaya asli negeri di tengah Samudera Pasifik. Toleransi dan keberpihakan pada ide baru, orang muda, dan kaum minoritas terasa kental.
Ini hal yang membedakannya dengan sikap dasar presiden atau pemimpin Amerika lain yang dikenal publik Amerika. “Menurut saya, dia keren, karena bisa tampil agak berbeda,” ujar warga lain yang kami temui dalam sebuah acara resepsi.
Kehidupannya, yang singkat di Jakarta, Indonesia, adalah pelengkap, dengan sebagian besar masa remajanya dihabiskan di Hawaii, diasuh sang nenek dan berada di lingkungan orang yang mencintai “dunia selain Barat”.
Ibunya, Ann Dunham lebih dulu menjadi antropolog yang meneliti soal-soal Indonesia. Di bawah bimbingan Alice G Dewey, dosen Univesitas Hawaii, yang pecinta Yogyakarta, Ann dibawa mencintai segala hal berbau Asia.
Menurut Teguh Santosa, peneliti hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah, dalam pengantar buku Pendekar-Pendekar Besi Nusantara, yang diangkat dari disertasi Ann Dunham, masyarakat Amerika bisa melihat bagaimana transformasi seorang ibu mempengaruhi alam pikiran sang anak. Termasuk tentu saja lingkungan Obama di Hawaii, termasuk ilmu berselancar, yakni mengatasi dan “menari” bersama gelombang.
Inilah mungkin yang membuat Obama disukai publik “non Barat”, termasuk di Asia. Di Indonesia sendiri, kedatangannya yang hanya 24 jam sangat dinanti. Setelah dua kali batal, pada 9 November Air Force One mendaratkan Presiden Barack Obama di Halim Perdanakusuma.
Presiden Obama punya jadwal meneken perjanjian Comprehensive Partnership Indonesia-Amerika dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia, lewat siaran langsung satu stasiun televisi, warga Jakarta senyam senyum melihat Obama. Ucapannya,”Pulang kampung nih,” kontan membuat histeris seisi kantor tempat saya menunggu seseorang di bilangan Sudirman, saat itu, 9 November 2010.
Tapi memang, sang presiden bukan superman. Seperti yang sudah diingatkan Teguh, kembali dalam pengantar buku Ann terbitan Mizan. Amerika adalah sebuah sistem negara, memiliki perangkat dalam membela kepentingan nasionalnya. Ada banyak “pemilik saham” dalam setiap masa pemerintahan, bahkan sampai Amerika berusia 240 tahun pada 4 Juli 2016.