Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Radikalisme di Eropa, Ada Apa dengan Belgia?

Kompas.com - 23/03/2016, 09:00 WIB
Ervan Hardoko

Penulis


Molenbeek dan radikalisme

Salah Abdeslam, tersangka penyerangan Paris, meski warga negara Perancis, dia lahir dan dibesarkan di distrik Molenbeek, Brussels.

Molenbeek adalah sebuah distrik kelas pekerja dan sejak lama distrik ini identik dengan kemiskinan dan kriminalitas di ibu kota Uni Eropa itu.

Bagi warga Brussels, bukan hal yang aneh jika warga distrik ini terlibat dalam berbagai kejahatan seperti penodongan, narkotika hingga perampokan.

Bahkan dua serangan teror terakhir di Paris yaitu penembakan kantor majalah Charlie Hebdo dan serangan yang gagal terhadap kereta cepat Thalys, juga melibatkan warga Molenbeek.

Seperti halnya kawasan miskin di berbagai belahan dunia, Molenbeek juga merupakan kawasan terpadat di Brussels yang disesaki 95.000 orang, atau dua kali lipat dari kawasan lain di Brussels.

Molenbeek dulu, pernah menjadi daerah yang makmur, tepatnya di akhir abad ke-18.

Revolusi industri dan pembangunan kanal Brusses-Charleroi membuat daerah ini makmur dari perdagangan dan manufaktur.

Kemunduran Molenbeek terjadi pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah Brussels mereintegrasikan kanal dengan kawasan pelabuhan baru.

Kemunduran industri di Molenbeek sudah dimulai sebelum Perang Dunia I pecah, dan semakin cepat di masa Depresi Besar.

Sejak itu upaya untuk mengembalikan kejayaan Molenbeek selalu gagal. Alhasil sebagian besar penduduk distrik ini hidup dalam kondisi miskin.

Apalagi, hampir 30 persen warga Molenbeek adalah pengangguran. Sehingga mereka sangat mudah terjatuh dalam kriminalisme hingga radikalisme.

Ali, bukan nama sebenarnya, kepada CNN mengatakan diskriminasi dan kurangnya peluang di Belgia membuat para pemuda negeri itu memilih jalan pintas.

Dua saudara laki-laki Ali, sudah berangkat ke Suriah dan salah satunya telah tewas di garis depan pertempuran.

"Banyak dari kami merasa tak diterima di negara kami sendiri. Perasaan termarjinalisasi inilah yang dieksploitasi para perekrut," ujar Ali.

Dia menambahkan,  meski sebagian besar dari mereka lahir dan besar di Belgia namun negara selalu menganggap mereka sebagai orang asing.

"Negara menganggap kami orang asing sehingga kami sulit mencari pekerjaan. Negara memenuhi diri kami dengan kebencian dan mengatakan kami tak berguna," tambah Ali.

"Jadi para pemuda melihat apa yang tengah terjadi di Suriah akhirnya memutuskan berangkat agar menjadi berguna," lanjut Ali.

Situasi ini adalah hal yang sangat berbahaya dalam memupuk bibit-bibit radikalisme.

"Ini adalah kombinasi berbahaya antara kemiskinan dan kemunculan berbagai organisasi berhaluan radikal," kata Bilal Benyaich, peneliti senior di lembaga riset Itinera Institute seperti dikutip CNBC.

"Di Molenbeek, banyak anak muda yang belum pernah melihat pusat kota Brussels. Mereka berkutat di ruang-ruang chat dan Facebook, berhubungan dengan kelompok-kelompok paling radikal," tambah Benyaich.

Benyaich menegaskan, kelompok radikal jumlahnya sangat kecil dibanding jumlah seluruh umat muslim Belgia.

Namun, dia mendesak, agar para politisi segera menelurkan strategi tepat untuk memberantas radikalisme dengan layanan sosial, pendidikan, sistem hukum dan kepolisian ditambah kebijakan luar negeri yang realistis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com