Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teror di Eropa Berakar pada Isu Sosial, Situasi yang Membuat Semua Jadi Pecundang

Kompas.com - 22/03/2016, 19:42 WIB

Serangan di Brussels, Belgia, menyisakan pertanyaan yang harus segera dijawab oleh Eropa. Tantangan itu memerlukan refleksi diri dan keterbukaan sosial.

Apa yang mendorong seorang pemuda Muslim mengkhianati negeri tempat ia dilahirkan dan membunuh saudaranya sendiri?

Pertanyaan itu selalu muncul sejak gelombang serangan teror melanda Eropa, dahulu oleh Al Qaida dan kini dilanjutkan oleh mereka yang menyebut diri sebagai kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).

Setelah serangan teror teranyar di Brussels dan insiden serupa di Paris, Perancis, 13 November 2015, jawaban atas pertanyaan itu terasa semakin mendesak.

Masyarakat Eropa harus mengambil langkah cepat untuk mencegah pertumpahan darah selanjutnya, meski tidak ada solusi yang menjamin kengerian dan banjir darah semacam itu akan cepat berakhir.

Salah satu faktor yang paling mencolok adalah kegagalan masyarakat Eropa selama beberapa dekade mengintegrasikan kaum muda Muslim ke dalam struktur sosial.

Hingga kini masih banyak imigran yang menolak integrasi dan memilih menutup diri dari lingkungan.

Mereka hidup di ghetto pinggiran kota layaknya Molenbeek di Brussels.

Salah Abdeslam, salah satu arsitek serangan teror di Paris, juga hidup dan dibesarkan di wilayah terpinggirkan itu. Kawasan bermasalah yang banyak menampung penduduk berlatarbelakang migran juga tumbuh bak jamur di Perancis, Jerman, dan Inggris.

 

Tersisih

Konsekuensi terbesar dari segregasi semacam itu adalah kegagalan menguasai bahasa di negara setempat. Hal ini menyulitkan kaum migran untuk berpartisipasi di dalam masyarakat dan memahami norma-norma sosial yang berlaku.

Pada akhirnya anak-anak migran tidak mampu memanfaatkan peluang pendidikan secara penuh. Sebab, mereka tidak menguasai bahasa setempat untuk bisa mencapai level pengetahuan yang diperlukan untuk sukses.

Pasar ketanagakerjaan di Eropa memilah pegawai berdasarkan kinerja. Mereka yang gagal di sekolah akan tersisih, sesuai karakter dasar masyarakat kapitalis.

Akhirnya kaum muda imigran terpaksa bekerja dengan upah kecil atau menganggur untuk waktu lama. Sebagian besar hidup sebagai kelompok terpinggirkan dengan mengandalkan bantuan sosial. Ini adalah nasib imigran yang gagal mengintegrasikan diri, terlepas dari keyakinannya masing-masing.

Jika dalam kondisi semacam itu mereka terpapar ideologi ekstremis, maka jelas apa yang akan terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com