WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Scott Pappalardo bisa dibilang adalah pendukung garis keras Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat (AS).
Amandemen yang diratifikasi 15 Desember 1791 silam itu melindungi hak setiap warga negara untuk membawa senjata sebagai alat pertahanan diri.
Bahkan, sebagai wujud kecintaannya, dia mempunyai tato bertulisan "Amandemen Kedua" selama lebih dari 30 tahun.
Namun, Sabtu pekan lalu (18/2/2018), dia memposting sebuah video berdurasi lima menit di akun Facebook-nya.
Dilansir The Independent Selasa (20/2/2018), Pappalardo terlihat membawa senapan serbu semi-otomatis AR-15 yang berusia sama dengan tato-nya.
Yang mencengangkan, Pappalardo memilih untuk menghancurkan senapan versi komersial dari M-16 milik mliiter tersebut.
Baca juga : Tertembak 5 Kali Demi Teman, Murid di Florida Jadi Pahlawan
Pappalardo membuka videonya dengan bercerita mengenai tanggapan orang ketika dia memutuskan untuk memiliki AR-15.
Saat itu, Pappalardo mengaku kalau dia hanya suka menembak. Dia mengatakan kalau tidak pernah membunuh sesuatu, kecuali menembak beberapa target benda mati.
Pappalardo mengingat momen penembakan massal di SD Sandy Hook pada 14 Desember 2012 yang menewaskan 28 orang.
Penembakan yang dilakukan pemuda bernama Adam Lanza itu tercatat sebagai penembakan paling mematikan yang pernah terjadi di sekolah sepanjang sejarah AS.
"Saat itu, saya berkata kepada istri saya bahwa saya dengan senang hati bakal memberikan senjata ini untuk menyelamatkan nyawa yang tidak berdosa," ujar Pappalardo.
Kini, lima tahun berlalu, dia mengingat 400 orang tewas dalam 200 kejadian penembakan di sekolah, hingga sampailah ke peristiwa penembakan massal di SMA Marjory Stoneman Douglas pekan lalu (14/2/2018).
Saat itu, dia merenung bahwa keberadaan senjata menjadi penyebab utama banyaknya nyawa yang berjatuhan.
Perenungan itu membuatnya mantap mengambil keputusan mematah untuk mematahkan senapannya menjadi dua bagian.
"Saya tidak bisa membayangkan senjata seperti yang saya punya bakal berkeliaran di luar sana, dan suatu saat bisa membuat kejadian seperti di Florida," lanjut Pappalardo.