Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PBB: Ratusan Orang Tewas di Sudan Selatan Dalam Dua Hari

Kompas.com - 18/12/2013, 09:32 WIB
JUBA, KOMPAS.COM - Seorang pejabat PBB, Selasa (17/12), mengatakan, sekitar 400-500 orang diyakini telah tewas di Sudan Selatan dalam dua hari pertempuran antara pasukan yang saling bersaing di negara itu. Ribuan warga sipil yang ketakutan telah melarikan diri dari apa yang disebut sebagai upaya kudeta tersebut.

Kepala penjaga perdamaian PBB, Herve Ladsous, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa sekitar 400-500 mayat telah dibawa ke rumah sakit di Juba, ibu kota negara itu, sementara 800 lainnya terluka. Ladsous mengatakan kepada 15 anggota dewan bahwa tampanya bentrokan di ibukota yang "sangat tegang" itu, yang meletus Minggu malam, sedang berlangsung berdasarkan garis etnis.

Amerika Serikat telah memerintahkan para staf kedutaan yang tidak esensial untuk ke luar negeri itu. Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan pernyataan yang mengatakan semua personel non-darurat pemerintah AS diperintahkan untuk meninggalkan Sudan Selatan "karena kerusuhan politik dan sosial yang sedang berlangsung" dan mendesak semua warga Amerika untuk keluar dari negara itu "segera".

Saat bentrokan sporadis pecah di sejumlah bagian kota itu, warga yang ketakutan meringkuk di rumah-rumah. Mereka terlalu takut untuk bepergian. Yang lainnya memanfaatkan jeda yang ada untuk mengungsi ke daerah yang lebih aman, kata seorang wartawan kantor berita AFP.

"Kami takut pergi ke luar," kata Jane Kiden, warga Juba. "Kami ingin keluar dan membeli makanan di pasar, tetapi bagaimana kamu bisa pergi dengan ada tembak-tembakan seperti itu? Saya tinggal di rumah bersama anak-anak saya."

Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir, Senin, menuduh para tentara yang setia pada lawannya, mantan wakil presiden Riek Machar yang telah dipecat, melancarkan upaya kudeta di negara kaya minyak tetapi sangat miskin itu. Pemerintah mengatakan 10 tokoh kunci termasuk sejumlah mantan menteri telah ditangkap, dan sejumlah yang lain, termasuk Machar, melarikan diri.

Machar, yang dipecat Juli lalu, memimpin sebuah kelompok pembangkang di dalam partai yang berkuasa, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan, dan telah dipandang sebagai penantang utama Kiir. Kedua orang itu berasal dari kelompok etnis yang berbeda dan di masa lalu berjuang di sisi yang berbeda dalam perang sipil yang panjang di Sudan. Salva Kiir dari etnis Dinka sementara Riek Machar dari etnis Nuer.

Menteri Penerangan Sudan Selatan, Michael Makuei Lueth, sebelumnya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa sedikitnya 73 tentara tewas dalam pertempuran itu. Sejumlah warga sipil juga dilaporkan tewas.

Presiden Dewan Keamanan PBB Gerard Araud, yang juga duta besar Perancis untuk PBB, tidak mengonfirmasi jumlah korban. "Ada banyak korban, itu jelas," kata Araud kepada wartawan. Ia menambahkan, angka pasti belum tersedia. "Ada puluhan dan ratusan korban cedera, itu benar-benar bukan insiden kecil," katanya.

Araud menambahkan, pertempuran juga dilaporkan telah terjadi di luar ibukota, di Pibor di negara bagian Jonglei yang memiliki sejarah bentrokan antara kelompok etnis yang bersaing.

Seorang utusan PBB mengatakan, sedikitnya 10.000 warga sipil "telah mendapat perlindungan di dua kompleks UNMISS di Juba", dan bahwa staf PBB "sedang mengambil setiap langkah yang mungkin untuk memastikan keselamatan mereka". Namun Ladous mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa antara 15.000 dan 20.000 orang telah mencari perlindungan ke PBB.

Perwakilan khusus Sekjen PBB, Hilde Johnson, mengatakan "penting" bahwa konflik itu tidak diasumsikan berdimensi etnis. "Pada saat persatuan di antara Sudan Selatan lebih dibutuhkan ketimbang sebelumnya, saya mengajak para pemimpin negara baru ini dan semua faksi politik dan partai, serta tokoh masyarakat untuk menahan diri dari setiap tindakan yang memicu ketegangan etnis dan memperburuk kekerasan, " katanya dalam sebuah pernyataan.

Uni Afrika juga mengatakan "sangat prihatin" tentang peristiwa itu dan mendesak semua pihak untuk menunjukkan sikap "menahan diri maksimum".

Pertempuran sengit dan dugaan kudeta itu telah menegaskan rapuhnya bangsa itu yang baru saja merdeka dari Sudan tahun 2011.

Seorang pekerja bantuan badan amal Oxfam dari Inggris, Emma Jane Drew, mengatakan kepada AFP melalui telepon bahwa situasi di Juba "sangat tegang". "Kami tidak tahu siapa yang memerangi siapa," katanya. Ia menambahkan, timnya tidak dapat meninggalkan kompleks mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com