Bahasanya kasar dan kosong karena hidup mereka juga suram dan menyedihkan. “Kami tidak pernah membaur dengan mereka (orang India) – hidup kami benar-benar terpisah. Kami tidak ingin ada hubungannya dengan mereka, kalau-kalau nasib buruk mereka menimpa kami."
Selama beberapa dekade, sebagaimana orang India dikeluarkan dari perkebunan, peran mereka digantikan oleh pekerja asing yang datang silih berganti: orang Indonesia, Bangladesh, dan terakhir, Rohingya dari Myanmar.
Di sinilah, akan tetapi, novel ini kehilangan kedekatan dan kekuatan emosionalnya.
Banyak pekerja asing di Malaysia (terutama yang tidak berdokumen) mengalami kehidupan menyedihkan, namun Tash gagal menghidupkan tokoh-tokoh ini. Dia dapat mengutarakan kemarahan atas nasib mereka.
“Bukan masalah gaji yang menghancurkan jiwa-jiwa dari pria dan wanita ini, melainkan pekerjaannya, bagaimana pekerjaan itu menghancurkan badan mereka, bagaimana pekerjaan itu mengubah mereka, dari anak-anak menjadi makhluk tua yang renta dalam waktu beberapa tahun,” katanya.
Anehnya, Tash juga meraba naratornya – seorang peneliti/penulis wanita gay. Dalam “The Face” esainya yang baru-baru ini diterbitkan membahas soal identitas, keluarga dan kelas, Tash menyimpulkan perbedaan antara mereka yang berhasil bebas dari kesuraman eksistensi pedesaan (terutama yang orang tuanya ambisius dan pekerja keras) dengan mereka yang tertinggal.
Sekali lagi, ketika Tash menggali pengalamannya sendiri, tulisannya sangatlah bagus. Penjelasan mengenai percakapan antara Tash dan ayahnya mengandung rasa emosional yang langka.
Dengan begitu, orang akan membayangkan bahwa narator dengan cara-cara ilmiah dan keberadaan kosmopolitannya akan relatif mudah untuk dia gambarkan.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian dan dia akhirnya menjadi sedikit mengarah pada alur cerita yang membosankan dan tidak menarik.
“We, the Survivors” membawa kita tenggelam dalam pusaran Malaysia kontemporer. Tash menyoroti area yang sangat rentan dari negara ini, yaitu tanah yang kotor, korup dan tercemar.
Meski ada beberapa kelemahan cerita, buku ini masih merupakan karya yang wajib dibaca dan merupakan antitesis yang sangat cocok untuk adaptasi “Crazy Rich Asians” versi Hollywood.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.