Salin Artikel

Tash Aw Menjelajahi Sisi Gelap Malaysia

Dia memiliki pemahaman intuitif tentang semangat dan suasana hati di manapun dia berada. Lahir di Taipei empat puluh tujuh tahun silam, dia telah tinggal dan bekerja di berbagai belahan dunia, dari Shanghai, Singapura, Kuala Lumpur, Paris hingga London, di mana dia sekarang menetap.

Namun, penulisan Tash hanya benar-benar hidup – secara harfiah berderak dengan semangat hingga menembus kepedihan bercampur ancaman – ketika dia mengalihkan perhatiannya pada komunitas kelas pekerja keluarga besarnya di Malaysia.

“We, the Survivors” adalah cerita tentang pembunuhan. Tetapi karena kita tahu siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu sejak awal, hal ini menjadi sebuah eksplorasi konteks.

Dan ketika Tash merambah kota kecil di Malaysia, dia mengutarakan keputusasaan, kebrutalan, dan kadang-kadang, kelembutannya, dengan gayanya yang cekatan dan efisien.

Bagi Tash, kebanyakan orang, akan melakukan apapun untuk membebaskan diri dari kurungan yang mengekang dan kesempatan yang terbatas dari dunia seperti itu.

Tokoh utamanya, Ah Hock, merupakan sosok orang kebanyakan. Biasa-biasa saja dengan bakat terbatas–menghemat kapasitas untuk kerja keras dan hati terbuka - dia tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis di tepi desa nelayan.

Adegan domestik yang menenangkan menjadi jangkar dari novel ini. Lembut, mentah dan memilukan. Singkatnya, sastra yang luar biasa. Tash menangkap kualitas terbatas dan tidak pasti dari kehidupan karakternya dengan efek yang sangat mengena bagi pembacanya.

Ayah Ah Hock, misalnya, adalah sosok bak hantu. Meninggalkan istri dan anaknya, dia melarikan diri ke Singapura di mana dia menemukan "Tuhan" dan memulai keluarga baru.

Sementara istrinya, dibiarkan sendiri untuk mencari nafkah bagi dirinya dan putranya yang masih kecil. Merasa kesepian, dia memutuskan untuk pindah dengan seorang sarjana lokal, yang kemudian membuatnya dikucilkan oleh orang-orang di desa tersebut.

Akhirnya, dia mendapatkan sepetak tanah kosong dan mencoba menghidupi diri dari tanah tersebut dengan sebuah cangkul. Setelah mampu hidup mandiri, tempat tinggalnya hanyut oleh pasang naik.

Tragedinya lebih dari serupa janda muda, seperti tokoh Jeha di film klasik Shahnon Ahmad, “Ranjau Sepanjang Jalan”. Yang kemudian membawa saya ke lokasi dari novel ini.

Terletak di dataran pantai yang luas, di dataran rendah Selangor Utara, para “Crazy Rich Asian” versi Kevin Kwan akan mengenali medan ini seandainya mereka terbang di atas lumpur, pabrik-pabrik dalam jet pribadi mereka sebelum mendarat di bandara Subang, Kuala Lumpur.

Tash mengilhami daerah yang menjemukan dan umumnya diabaikan ini dengan bobot sastra dan signifikansi yang melampaui geografi belaka.

Dia mempertaruhkan tanah para petani dan nelayan Cina, membatasi perbatasan antara mereka dan dunia pekerja kelapa sawit yang jauh lebih melelahkan.

Bahasanya kasar dan kosong karena hidup mereka juga suram dan menyedihkan. “Kami tidak pernah membaur dengan mereka (orang India) – hidup kami benar-benar terpisah. Kami tidak ingin ada hubungannya dengan mereka, kalau-kalau nasib buruk mereka menimpa kami."

Selama beberapa dekade, sebagaimana orang India dikeluarkan dari perkebunan, peran mereka digantikan oleh pekerja asing yang datang silih berganti: orang Indonesia, Bangladesh, dan terakhir, Rohingya dari Myanmar.

Di sinilah, akan tetapi, novel ini kehilangan kedekatan dan kekuatan emosionalnya.

Banyak pekerja asing di Malaysia (terutama yang tidak berdokumen) mengalami kehidupan menyedihkan, namun Tash gagal menghidupkan tokoh-tokoh ini. Dia dapat mengutarakan kemarahan atas nasib mereka.

“Bukan masalah gaji yang menghancurkan jiwa-jiwa dari pria dan wanita ini, melainkan pekerjaannya, bagaimana pekerjaan itu menghancurkan badan mereka, bagaimana pekerjaan itu mengubah mereka, dari anak-anak menjadi makhluk tua yang renta dalam waktu beberapa tahun,” katanya.

Anehnya, Tash juga meraba naratornya – seorang peneliti/penulis wanita gay. Dalam “The Face” esainya yang baru-baru ini diterbitkan membahas soal identitas, keluarga dan kelas, Tash menyimpulkan perbedaan antara mereka yang berhasil bebas dari kesuraman eksistensi pedesaan (terutama yang orang tuanya ambisius dan pekerja keras) dengan mereka yang tertinggal.

Sekali lagi, ketika Tash menggali pengalamannya sendiri, tulisannya sangatlah bagus. Penjelasan mengenai percakapan antara Tash dan ayahnya mengandung rasa emosional yang langka.

Dengan begitu, orang akan membayangkan bahwa narator dengan cara-cara ilmiah dan keberadaan kosmopolitannya akan relatif mudah untuk dia gambarkan.

Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian dan dia akhirnya menjadi sedikit mengarah pada alur cerita yang membosankan dan tidak menarik.

 “We, the Survivors” membawa kita tenggelam dalam pusaran Malaysia kontemporer. Tash menyoroti area yang sangat rentan dari negara ini, yaitu tanah yang kotor, korup dan tercemar.

Meski ada beberapa kelemahan cerita, buku ini masih merupakan karya yang wajib dibaca dan merupakan antitesis yang sangat cocok untuk adaptasi “Crazy Rich Asians” versi Hollywood.

https://internasional.kompas.com/read/2019/06/25/14143391/tash-aw-menjelajahi-sisi-gelap-malaysia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke