Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Dimulainya Pembantaian Tiananmen 30 Tahun Lalu

Kompas.com - 03/06/2019, 16:27 WIB
Retia Kartika Dewi,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di Lapangan Tiananmen, Beijing, China pada 30 tahun silam itu, ribuan orang berkumpul di pusat kota yang merupakan simbol pusat pemerintahan.

Ada yang menyebut jumlah orang saat itu mencapai 100.000. Sehingga, kumpulan manusia itu terlihat seperti menyemut di utara Kota Terlarang, istana yang menjadi simbol besarnya Kekaisaran China sejak ribuan tahun silam.

Namun, kumpulan manusia itu berkumpul bukan untuk sebuah perayaan atau festival dari tradisi apa pun. Puluhan ribu manusia yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan masyarakat biasa berkumpul untuk menyuarakan protes terhadap Pemerintah China yang dianggap membungkam kebebasan demokrasi.   

Hari ini 30 tahun silam, tepatnya 3 Juni 1989, aksi unjuk rasa yang berlangsung selama tujuh pekan mulai dibubarkan paksa oleh Pemerintah China. Saat itu, pemerintahan dikuasai Partai Komunis pimpinan Deng Xiaoping.

Puluhan tank dikerahkan untuk membantu tentara "membersihkan kembali" Lapangan Tiananmen dari aksi demonstrasi yang dimulai sejak 27 April 1989.

Upaya pembersihan ini terekam secara dramatis dalam sebuah foto ikonik yang memperlihatkan seorang mahasiswa mengadang laju tank dengan berdiri di hadapannya. Foto itu dijepret pada 5 Juni 1989, dua hari sejak tank dikerahkan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tentara China Bubarkan Unjuk Rasa di Tiananmen

Pengadangan mahasiswa yang saat ini belum diketahui identitasnya itu tak menuai hasil. Sebab, tentara membubarkan paksa dengan jalan kekerasan, termasuk melepaskan tembakan. Demonstran berusaha melakukan perlawanan dengan cara melempar batu dan bom molotov.

Akibat peristiwa itu, otoritas resmi menyebut korban tewas mencapai 300 orang, termasuk demonstran dan tentara. Namun, sejumlah laporan tak resmi menyebut korban lebih dari 300. Setidaknya, jumlah korban tewas diprediksi mencapai 1.000 orang.

Bagaimana tragedi ini bermula?

Demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa terjadi sejak Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Hu Yaobang, meninggal dunia pada 15 April 1989. Di partai, Hu Yaobang dikenal sebagai tokoh reformis dan membuka diri terhadap demokrasi.

Untuk mengenang kematian Hu Yaobang, 100.000 mahasiswa berkumpul di Lapangan Tiananmen. Mereka menyuarakan ketidakpuasan kepada Pemerintah China yang otoriter. Selain itu, mereka juga curiga dengan kematian Hu Yaobang.

Pada 22 April, digelar upacara peringatan resmi untuk mengenang Hu Yaobang yang diadakan di Balai Agung Rakyat di Lapangan Tiananmen. Perwakilan mahasiswa turut datang sambil membawa petisi ke tangga Balai Agung Rayat.

Para mahasiswa ini menuntut untuk bertemu dengan Perdana Menteri Li Peng dan meminta kejelasan atas kematian Hu Yaobang yang dianggap misterius.

Namun, Pemerintah China menolak pertemuan itu. Hal ini memicu aksi demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh China. Mereka mulai menyuarakan reformasi.

Menguasai Lapangan Tiananmen

Foto Mao Zedong terpampang seakan mengawasi warga China yang berada di Lapangan Tiananmen.DOK Foto Mao Zedong terpampang seakan mengawasi warga China yang berada di Lapangan Tiananmen.
Pemerintah China sempat membuat peringatan keras. Namun, demonstrasi besar yang digelar pada 27 April 1989 seperti memperlihatkan bahwa mahasiswa tak peduli dengan ancaman pemerintah.

Mahasiswa yang berasal dari lebih 40 universitas bergerak menuju Lapangan Tiananmen. Aksi demonstrasi ini juga didukung oleh buruh, pekerja, kalangan intelektual, hingga pegawai negeri.

Pada pertengahan Mei, diperkirakan lebih dari 1 juta orang memenuhi Lapangan Tiananmen, tempat Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1949.

Pada 20 Mei 1989, Pemerintah China menetapkan darurat militer di Beijing, seiring jumlah massa yang semakin besar. Pemerintah China mengerahkan tentara dan tank ke Ibu Kota untuk membubarkan aksi demonstran.

Diketahui, sebanyak 30 divisi tentara dari tujuh wilayah atau sekitar 250.000 pasukan militer dikirim ke Beijing melalui udara atau kereta api.

Namun, ketika tentara ingin masuk ke pusat kota, mereka diadang oleh para demonstran dengan cara memblokir jalan utama. Demonstran juga mengelilingi kendaraan militer sehingga aparat kesulitan bergerak. Tak hanya itu, pengunjuk rasa bahkan membujuk tentara untuk bergabung dalam aksi demonstrasi.

Baca juga: Miao Deshun, Tahanan Tiananmen Terakhir

Pada 23 Mei 1989, akibat tidak adanya akses jalan untuk maju, pasukan tentara berhasil dipukul mundur ke pinggiran Kota Beijing oleh para demonstran.

Tindakan penarikan mundur itu disinyalir sebagai pertanda baik bagi aksi demonstrasi. Namun, gerakan mahasiswa tidak sadar bahwa sebenarnya pihak militer tengah memobilisasi untuk melakukan serangan pamungkas.

Tidak lama setelah itu, muncul perpecahan di tengah pengunjuk rasa, karena tidak adanya kepemimpinan dan tujuan yang jelas dari aksi itu.

Salah satu aktivis mahasiswa, Wang Dan, juga mulai menyadari adanya bahaya aksi militer. Ia pun menyarankan agar para mahasiswa mundur sementara, sambil menyusun strategi yang lebih baik.

Sayangnya, saran Wang Dan ditolak para aktivis radikal yang bersikukuh ingin mempertahankan Lapangan Tiananmen.

Pada 1 Juni, Pemerintah China melalui Perdana Menteri Li Peng menerbitkan laporan berisi ajakan kepada Politbiro untuk menyatakan para pengunjuk rasa sebagai teroris dan pihak yang kontra-revolusi.

Keesokan harinya, para mahasiswa kesal dengan beredarnya artikel di surat kabar yang menyebut para mahasiswa akan mengosongkan Lapangan Tiananmen. Para pengunjuk rasa ini memang menolak meninggalkan Lapangan Tiananmen.

Tragedi berdarah

Sikap mahasiswa itu menyebabkan Pemimpin China Deng Xiaoping menemui para politisi senior partai dengan tiga anggota Politbiro, yakni Li Peng, Qiao Shi, dan Yao Yin. Dalam negosiasi itu, mereka menyepakati untuk mengosongkan Lapangan Tiananmen dari para demonstran dengan cara damai.

Akan tetapi, fakta di lapangan seakan berbeda dengan upaya membubarkan aksi massa secara damai. Sebab, pada 3 Juni 1989 para mahasiswa menemukan sejumlah tentara berpakaian sipil yang mencoba menyelundupkan senjata. Senjata itu berhasil disita dan diserahkan kepada polisi Beijing.

Di hari yang sama, pada pukul 16.30, tiga anggota komite tetap Politbiro bertemu dengan para pemimin militer dan sepakat menggunakan langkah tegas sebagai bagian dari penerapan darurat militer.

Melalui saluran televisi, Pemerintah China menyarankan kepada masayarakat untuk tetap berada di dalam rumah. Akan tetapi, warga tetap berada di jalanan dan melakukan aksi pemblokiran.

Diketahui, sekitar pukul 22.00, terjadi penembakan ke arah pengunjuk rasa di persimpangan Wukesong di Chang'an Avenue, sekitar 10 km dari sebelah barat Lapangan Tiananman. Korban yang tewas adalah seorang pakar teknologi luar anagkasa, Song Xiaoming (32).

Tentara semakin bergerak menuju Lapangan Tiananmen. Tidak hanya itu, mereka mulai menembaki pengunjuk rasa. Peristiwa ini dilaporkan oleh organisasi Tiananmen Mothers, yang menyebut setidaknya 36 orang tewas di Muxidi pada 3 Juni 1989 malam.

Tindakan penembakan ini memicu kemarahan warga yang berujung pada pembalasan penyerangan, seperti melempari bom molotov, melawan dengan tongkat dan batu. Pada 4 Juni 1989, situasi Beijing sangat tidak menentu.

Pada 5 Juni 1989, para tentara tetap berkelanjutan melakukan pembersihan Lapangan Tiananmen dan berhasil mengambil alih tempat itu.

Meski begitu, aksi unjuk rasa masih tetap berlangsung di sejumlah kota lain, seperti Shanghai, Xi'an, Wuhan, Nanjing, dan Chengdu.

Pada 6 Juni 1989, juru bicara pemerintah, Yuan Mu menyampaikan bahwa akibat aksi militer itu hampir 300 orang tewas, termasuk tentara. Kemudian, terdapat 5.000 orang luka-luka, dan lainnya ditangkap untuk diadili dan dieksekusi.

Meski begitu, jumlah korban versi pemerintah tidak dianggap kredibel. Sumber lain menyebut bahwa korban tewas setidaknya mencapai 1.000 orang.

Dunia mengecam pembantaian dan tragedi di Lapangan Tiananmen. Akibat peristiwa ini, ekonomi China mengalami penurunan karena adanya sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan negara lain.

Pada akhir 1990, perdagangan internasional kembali stabil, sebagian berkat akibat pembebasan terhadap  beberapa ratus mahasiswa yang dipenjara. Meski begitu, Tragedi Lapangan Tiananmen tak pernah bisa dilupakan dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com