Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Kubu Berseberangan Bahas Otonomi Khusus Papua di Selandia Baru

Kompas.com - 31/07/2018, 16:27 WIB
Amir Sodikin

Editor

“Tapi Anda bisa lebih bijak untuk melihat kemajuan yang terjadi (dalam hal kebebasan berekspresi di Papua). Jurnalis sudah tahu aturan sebagaimana mereka masuk negara lain. Ikuti saja aturannya,” dia memastikan.

Setelah itu, Menufandu melanjutkan dengan pandangannya tentang kemajuan pembangunan infrastruktur. Papua besar secara geografi sehingga berkembang membutuhkan lebih banyak waktu dan dukungan yang lebih besar.

Mantan Walikota Jayapura itu menjelaskan bahwa yang dilakukan pemerintah saat ini telah membantu orang Papua dengan menurunkan biaya logistik dan memperbaiki akses antar daerah di Papua, terutama terkait pembentukan Jalan Trans Papua.

Dia juga berbagi pandangannya bahwa dengan otonomi khusus saat ini, telah dipastikan bahwa hanya orang asli Papua yang dapat memimpin Papua.

“Anda lihat sekarang semua pemimpin dari gubernur menjadi walikota adalah penduduk asli Papua. Bahkan pemimpin militer kita juga orang Papua,” kata mantan Duta Besar Indonesia di Kolombia itu.

Messet kemudian mengalihkan diskusi untuk berbicara tentang semacam kisah kehidupan nyata bagaimana dia memutuskan untuk bergabung dengan pemerintah Indonesia dan meninggalkan teman-temannya pada 'masa lalu'.

Dia meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan. Dia tidak mengatakan bahwa Papua sekarang sudah berkembang sebagai pulau utama yakni Jawa. Tetapi dengan Papua tetap berada di Indonesia, dia melihat bahwa pembangunan sedang berkembang di sana.

Dalam hal kemajuan pembangunan, mantan Menteri Luar Negeri OPM ini percaya bahwa Papua saat ini adalah apa yang dia dan beberapa teman-temannya mimpikan dan perjuangkan.

“Papua hari ini adalah jawaban atas apa yang kami perjuangkan! Kami bermimpi tentang memiliki pemimpin dari orang-orang kami, dan sekarang ada mereka,” kata Pak Nick dengan sedikit berteriak tegas.

Baca juga: Kapolda: 8 Polisi Korban Kecelakaan di Papua Kondisinya Mulai Membaik

Sebagai tuan rumah, Perhimpunan Pelajar Indonesia mengatakan bahwa acara mereka mendapat dukungan dari universitas-universitas di Selandia Baru. PPI telah melakukan perjalanan ke universitas-universitas besar termasuk Victoria University of Wellington dan University of Auckland untuk bertemu para rektornya.

“Jawabannya menggembirakan bahwa di tengah berbagai kegiatan yang berbicara tentang Papua dari sisi negatif, Bapak-bapak itu (para rektor) mendorong kami untuk berani berbagi pendapat yang berbeda dengan dengan menyelenggarakan forum serupa,” kata Hana.

Hana melanjutkan bahwa universitas di Selandia Baru mendukung para mahasiswa dengan memberi mereka akses ke ruangan untuk menyelenggarakan acara dan membantu menghubungi dan mendorong staf akademik untuk memfasilitasi atau memoderasi diskusi.


Dua kubu datang

Di antara audiens yang hadir, mereka yang selama ini dianggap memiliki pandangan berbeda pun datang. Panitia melihat beberapa tokoh terkemuka Selandia Baru yang mendukung Gerakan Papua Merdeka atau Free West Papua juga datang, yaitu Pala Molisa dan Marie Leadbeater.

Pala terkenal karena pandangannya yang konsisten tentang bagaimana Papua mengalami genosida. Sedangkan Marie baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul See No Evil yang pesan utamanya adalah kekecewaannya pada anggapan bahwa orang-orang Selandia Baru bungkam tentang isu-isu Papua.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com