Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Kisah Zulfarhan, Calon Perwira yang Tewas Disiksa Rekan-rekannya

Kompas.com - 21/11/2017, 21:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Para terdakwa yang saat itu memakai kemeja formal lengan panjang dan bahkan ada yang memakai jas, disuruh menunggu di samping dan di belakang tempat persidangan.

Generasi masa depan

Saat petugas registrasi meneriakkan nama mereka, mereka berjalan seperti berbaris. Saya ingat pernah berpikir bahwa mereka adalah calon perwira militer, yang ke depannya akan memadati dermaga dan kadang menimbulkan kebingungan.

Saya merasa sangat terganggu dengan suasana di pengadilan. Itu sangat aneh.

Semua pemuda berwajah segar dan cerdas terlihat di sini. Dalam konteks lain, saya berpikir, "Inilah sekelompok anak muda yang sebenarnya bermasa depan cerah. Masa depan negara saya."

Tetapi sebaliknya, mereka malah berkumpul di tengah ruang sidang. Kini masa depan mereka menjadi tidak pasti karena tindakan yang telah mereka lakukan pada Zulfarhan sekitar enam bulan lalu.

Seorang anak laki-laki, salah satu dari kelompok mereka telah meninggal dengan sangat mengerikan.

Hanya segerombolan sembilan belas pemuda ini yang tahu alasannya. Hanya mereka juga yang tahu bagaimana mereka melakukannya.

Sepanjang persidangan, Zulkarnain, Hawa, dan anak perempuan mereka yang berusia 15 tahun duduk di barisan depan tempat persidangan. Terdiam dan tenang, mereka memandangi para tersangka pelaku pembunuhan anak mereka yang memadati di depan mereka.

Sementara itu, di sekitar mereka terdapat juga orangtua para kesembilan belas terdakwa.  Beberapa terlihat menunjukkan muka malu dan beberapa ada yang mencoba menghibur anak laki-laki mereka.

Setelah melihat perbedaan tingkah laku para orangtua, saya bertanya apakah Zulkarnain melakukan interaksi dengan mereka.

Sang ayah menjelaskan, “Dua orangtua terdakwa mendekati saya untuk memohon maaf.”

 “Saya berkata kepada mereka. Jika saya memaafkan Anda apakah anak saya akan kembali?”

Namun setidaknya dalam masa percobaan yang tertunda, keluarga tersebut mendapatkan  gambaran bagaimana hari terakhir anak laki-laki mereka dan alasan kematiannya, di mana terdapat sebuah kekerasan yang luar biasa brutal di balik kematiannya.

Zulkarnain dengan blak-blakan menggambarkan bagaimana perasaan mereka saat itu. "Kami tidak tahu apa yang terjadi di sepanjang minggunya ketika anak saya disiksa hingga ditemukan meninggal. Sepertinya tidak ada yang menyadari bahwa dia hilang dan karena itulah kami harus datang ke persidangan."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com