Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Presiden Trump Hancurkan Mimpi-mimpi Saya ..."

Kompas.com - 02/02/2017, 06:24 WIB

KOMPAS.com - Banyak orang yang secara langsung terkena dampak dari keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Perintah eksekutif yang ditandatangani pada Jumat (27/1/2017) pada intinya melarang masuknya pengungsi selama 120 hari, dan imigran dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim selama tiga bulan ke depan.

Ketujuh negara tersebut adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libia, Yaman, dan Somalia.

Fauzia Mohamud, adalah seorang perempuan pengungsi Somalia di Kenya, yang merasa terdampak kebijakan itu.

"Larangan ini menghancurkan semua harapan saya. Saya sangat khawatir hingga saya tak bisa makan. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Fauzia.

"Negara kami tidak aman, itulah sebabnya kami ada di sini, dan kami ingin memulai kehidupan baru di AS," kata dia.

"Saya diberi tahu bahwa permintaan untuk bermukim di AS sudah diterima, dan saya tadinya berharap sudah bisa menetap di sana dalam beberapa bulan ke depan," sambung dia.

"Kami mengira AS adalah satu-satunya negara yang akan memberi kesempatan untuk membangun kembali kehidupan kami. Sekarang, saya tak yakin apakah saya bisa menetap di sana," ujar Fauzia.

"Saya khawatir, saya akan menjadi sasaran teroris, tak ada lagi tempat yang aman di sini."

Selain Fauzia, ada pula Naveen, serorang perempuan transgender dari Irak

"Begitu saya tahu bahwa Presiden Trump menandatangani keputusan soal pembatasan imigrasi, saya langsung sadar bahwa mimpi saya telah hancur berkeping-keping," kta Naveen.

"Saya berharap mendapatkan kehidupan yang normal di AS, bisa merasa aman, bisa mendapatkan hak-hak dasar, tanpa merasa terancam," tuturnya.

"Orangtua saya ingin menghabisi saya. Saya sangat takut mereka akan tahu di mana posisi saya sekarang."

Begitu pula dengan Fuad Suleman, warga Irak yang pernah bekerja di proyek AS.

"Saya merencanakan kepindahan ke AS selama dua tahun. Saya menjual rumah dan seluruh harta yang saya miliki," kata dia.

"Yang saya sesalkan adalah, anak-anak sudah tak bersekolah dalam satu tahun terakhir, saya tak tahu apakah mereka bisa lagi melanjutkan pendidikan mereka," ungkapnya.

"Saya menghadiri wawancara di Kedutaan AS di Baghdad pada Desember 2015, kemudian menunggu 12 bulan untuk pengecekan keamanan," kata Fuad.

"Mereka melakukan pengecekan selama satu tahun dan tak mendapatkan hal-hal yang dianggap akan menjadi ancaman bagi AS. Itulah sebabnya saya kemudian mendapat visa AS."

"Sekarang ada seseorang menandatangani kebijakan yang langsung diterapkan di lapangan. Apa maksudnya? Apa yang ia lakukan persis seperti Saddam Hussein," kata Fuad.

Tak berbeda dengan Georgette Abu Assali. Dia adalah warga Suriah, ditolak di bandar udara Philadelphia, AS.

"Anak saya telah berada di AS selama tiga tahun, tapi mereka tak membolehkan saya untuk menemuinya," kata Assali.

"Saya memohon petugas untuk meneleponnya, tapi mereka menolak. Mereka tak punya kemanusiaan," kata dia.

"Impian saya adalah bisa menetap di AS. Saya banyak mendengar tentang kebebasan, demokrasi, kepastian hukum, dan hal-hal indah di AS. Jadi, apa yang saya alami ini, membuat saya terpukul," ungkapnya.

"Ayah saya hampir terkena serangan jantung ketika kami disuruh pulang. Kami berada di bandara (Philadelphia) selama 60 jam. Semua tabungan sudah kami habiskan, semuanya lenyap sekarang gara-gara dia (Presiden Trump)."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com