Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Shandra Woworuntu, WNI Korban Perbudakan Seks di Amerika

Kompas.com - 03/04/2016, 10:42 WIB

Meski saya menjaga kewaspadaan, saya seakan mati rasa, dan tidak bisa menangis. Diliputi kesedihan, kemarahan, kekecewaan, saya hanya bisa melakukan apa yang telah diperintahkan, dan berusaha keras untuk bertahan hidup.

Saya ingat saat melihat gadis kecil yang dipukuli, dan saya juga melihat para penjahat itu menyakiti perempuan lainnya jika mereka membuat masalah atau menolak melakukan hubungan seksual. Pistol, pisau, dan pemukul bisbol menjadi alat yang digunakan silih berganti.

Mereka memberi saya julukan "Candy". Semua perempuan yang diperdagangkan berasal dari Asia. Selain dari Indonesia, ada juga gadis-gadis dari Thailand, China, dan Malaysia.

Ada pula para wanita yang bukan merupakan budak seks. Mereka adalah pelacur yang mencari penghasilan, dan tampaknya bisa bebas untuk datang dan pergi.

Hampir setiap malam, sekitar tengah malam, salah seorang anggota sindikat membawa saya ke sebuah kasino. Mereka akan mendandani saya supaya terlihat bagai putri.

Mucikari saya akan memakai setelan hitam dan sepatu hitam mengilat. Ia berjalan diam-diam di samping saya seperti pengawal saya, sambil menodongkan pistol ke punggung saya setiap waktu. Kami tidak melewati lobi, tetapi melalui pintu masuk staf dan lift khusus untuk layanan binatu.

Saya ingat saat kali pertama diantar ke kamar hotel kasino. Saya pikir mungkin saya bisa lari. Namun, rupanya, salah seorang anggota sindikat menunggu saya di koridor. Ia menunjukkan arah ke kamar sebelah, lalu kamar berikutnya, dan seterusnya.

Saya berada di setiap kamar selama empat puluh lima menit, malam demi malam. Mucikari selalu menunggu di balik pintu kamar.

Saya selalu patuh, makanya saya tidak pernah dipukuli oleh para mucikari. Para pelanggan sangat kejam. Beberapa dari mereka tampak seperti anggota mafia Asia, tetapi ada juga orang kulit putih, orang kulit hitam, dan orang-orang Hispanik.

Ada orang-orang tua dan mahasiswa. Saya adalah milik mereka selama 45 menit dan saya harus melakukan apa yang mereka katakan, kalau tidak mereka akan menyakiti saya.

Sungguh menyakitkan

Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan. Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup, nasi, dan acar. 

Saya lebih sering mengonsumsi obat-obatan. Ancaman kekerasan yang terus-menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga sangat melelahkan.

Satu-satunya yang menjadi milik saya—di luar "seragam" yang saya kenakan—adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan ada beberapa bolpoin, juga buku-buku permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di dalamnya.

Saya juga menyimpan sebuah buku harian, sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil.

Saya menulis dalam bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang, dan simbol-simbol. Saya mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi, berapa orang yang sudah bersama saya, dan tanggal berapa.

Saya melakukannya sebisa mungkin, meskipun hal itu sulit karena saya tidak bisa membedakan siang atau malam jika sudah berada di dalam rumah bordil.

Saya selalu berpikir untuk melarikan diri, tetapi peluangnya sangat langka.

Pada suatu malam, saya disekap di sebuah loteng rumah bordil di Connecticut. Kamarnya memiliki jendela yang bisa saya buka, lalu seprai dan pakaian saya susun menjadi tali, lalu mengikatnya ke kusen jendela, saya mencoba turun menggunakan tali.

Begitu saya sampai di ujung tali, jarak antara tali dan tanah masih terlalu jauh. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memanjat lagi.

Lalu, suatu hari, saya dibawa ke rumah bordil di Brooklyn, tempat saya kali pertama menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan kami pun menjadi teman. Ia adalah seorang gadis cantik dan manis dan selalu bersemangat.

Sekali waktu, Nina menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan, lalu mucikari memelintir tangannya. Ia berteriak kesakitan.

Pria Indonesia

Kami mengobrol dengan perempuan lain yang berada di rumah bordil itu. Ia merupakan "pelacur kelas atas", yang artinya ia memimpin kami. Ia bersikap baik, dan mengatakan kalau kami bisa keluar dari rumah bordil, kami harus menghubungi seorang pria ini.

Dikatakan, pria itu yang akan mencarikan kami pekerjaan yang layak, dan kami bisa menghemat uang untuk pulang. Saya mencatat nomornya dalam secarik kertas dan menyimpannya.

Saat ia tengah membicarakan soal utang kami sebesar 30.000 dollar AS yang harus kami lunasi kepada para mucikari, saya mulai panik. Saya yakin saya akan mati sebelum saya bisa melayani 300 pria. Saya memejamkan mata dan berdoa semoga ada yang bisa menolong.

Tidak lama setelah itu, di kamar mandi, saya melihat sebuah jendela kecil. Sekrupnya tertutup, tetapi Nina dan saya berupaya membukanya, dan tangan saya gemetar. Saya menggunakan sendok untuk membuka selot secepat mungkin.

Kemudian, kami memanjat lewat jendela dan melompat turun di sisi lain. Kami menelepon nomor yang diberikan perempuan itu, dan seorang pria Indonesia terdengar menjawab telepon kami. Sama seperti yang dikatakan perempuan tadi, ia berjanji untuk membantu kami.

Kami sangat bersemangat. Dia bertemu kami dan membayar biaya menginap di sebuah hotel, lalu ia berkata agar kami menunggu di sana sampai dia bisa menemukan pekerjaan untuk kami.

Ia mengurus kami, membelikan kami makanan, pakaian, dan lain-lain. Namun, setelah beberapa minggu, dia menyuruh kami tidur dengan sejumlah pria di hotel.

Lalu, ketika kami menolak, ia pun menelepon Johnny untuk datang dan menjemput kami. Ternyata, ia juga merupakan anggota sindikat lainnya. Pria itu, pelacur kelas atas, dan yang lainnya rupanya bekerja sama.

Konsulat RI tak membantu

Di dekat hotel, sebelum Johnny tiba, saya berhasil kabur dari mucikari baru saya dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya berbalik, dan berteriak kepada Nina yang mengikuti saya. Mucikari memegangnya erat.

Saya bisa mencapai sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya kepada salah seorang petugas polisi. Ia tidak memercayai saya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia, untuk kembali di jalanan tanpa uang atau dokumen.

Dalam keadaan putus asa untuk mencari bantuan, saya mendekati dua petugas polisi lainnya di jalan dan mendapat respons yang sama.

Lalu, saya pergi ke Konsulat Indonesia untuk mencari bantuan mendapatkan dokumen-dokumen, seperti paspor, dan bantuan lain.

Saya tahu, mereka memiliki ruangan bagi orang untuk bisa tidur dalam keadaan darurat. Namun, mereka juga tidak membantu saya.

Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saya datang ke Amerika Serikat saat musim panas, dan saat itu tengah menuju musim dingin, dan saya kedinginan.

Saya terpaksa tidur di stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di Times Square.

Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu lalang. Setiap ada kesempatan, saya menceritakan kisah saya kepada mereka. Saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu yang menyekap sejumlah perempuan, dan mereka membutuhkan bantuan.

Eddy dan FBI

Hingga pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia berasal dari Ohio. Ia merupakan seorang pelaut yang tengah berlibur.

"Kembalilah besok saat siang hari (noon)," katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.

Saya sangat senang. Saya tidak berhenti untuk menanyakan apa yang ia maksud dengan kata "noon".  Yang saya tahu saat sekolah, "noon" bisa jadi "menjelang sore". Saya menebak kata "noon" di sini adalah kata lain untuk "pagi". Jadi, esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.

Akhirnya, ia datang, dan mengatakan sudah menelepon dan berbicara dengan FBI, lalu FBI telah menelepon kantor polisi. Kami langsung pergi ke pos polisi. Di sana sudah ada para petugas yang mencoba membantu saya.

Jadi, Eddy mengantarkan saya dengan mobilnya ke sana, dan dua detektif menanyai saya panjang lebar. Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino tempat saya telah dipaksa untuk bekerja.

Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan mereka sudah mengecek laporan saya.

"Oke," kata mereka akhirnya. "Apakah Anda siap untuk pergi?" 

"Pergi ke mana?" tanya saya.

"Menjemput teman-teman Anda," kata mereka.

Lalu, saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega, saya bisa menemukannya lagi.

Rasanya seperti sebuah adegan dalam sebuah film. Mobil diparkir, dan saya melihat ke luar jendela. Di luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tunawisma. Saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja.

Kemudian, ada banyak detektif, polisi bersenjata, tim SWAT, dan para penembak jitu bersembunyi di dekatnya.

Kendati saya menikmatinya sekarang, tetapi saat itu saya merasa sangat tegang, dan khawatir jika saat polisi memasuki bangunan itu justru tidak menemukan apa pun di sana pada malam itu. Akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?

Seorang petugas polisi berpakaian sipil dan menyamar sebagai pelanggan. Ia menekan bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan, setelah berbicara singkat, ia membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa kembali ke dalam ruang yang gelap.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com