Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memburu Keadilan Setelah 70 Tahun Eksekusi Mati...

Kompas.com - 22/01/2014, 09:55 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Sumber AP

Pada 1944, Stinney bisa diduga adalah satu-satunya manusia berkulit hitam yang berada di dalam ruang sidang. Namun, pada sidang pemeriksaan yang digelar Selasa (21/1/2014), ruang sidang kasus ini dipenuhi pendukung Afro-Amerika yang mendebat jaksa yang adalah putra dari Ketua Mahkamah Agung berkulit hitam pertama di Carolina Selatan.

Finney berpendapat tidak boleh ada sidang baru karena semua bukti hilang. Namun, dia menyatakan terkejut dan kecewa bahwa pengadilan pada 1944 mengambil nyawa Stinney. "Tetapi, itu cara keadilan bekerja pada waktu itu. Kita seharusnya tahu ada yang lebih baik, tetapi tidak saat itu."

Pada era 1940-an, Carolina Selatan mengeksekusi mati 59 orang. Dari jumlah itu, 50 di antaranya berkulit hitam, merujuk data dari Pusat Informasi Hukuman Mati. Saat itu, populasi warga berkulit hitam di Carolina Selatan mencapai 43 persen. Saat ini populasi kulit hitam di negara bagian itu tinggal 28 persen.

Catatan koran dari zaman itu mendapatkan sidang Stinney menggunakan kesaksian dari pengakuan Stinney dan laporan otopsi. Beberapa orang di Alcolu mengatakan, ada pakaian berdarah ditemukan di rumah Stinney, tetapi orang-orang itu tak pernah muncul di persidangan.

Cerita koran tentang sidang Stinney menawarkan sedikit petunjuk apakah bukti diperkenalkan di luar pengakuan remaja dan laporan otopsi. Beberapa orang di sekitar Alcolu mengatakan, pakaian berdarah diambil dari rumah Stinney, tetapi tidak pernah diperkenalkan di pengadilan karena pengakuannya.

Tidak ada catatan yang menyebutkan pakaian itu benar-benar ada atau tidak. Saudara-saudara Stinney mengaku tak pernah melihat celana maupun kemeja berdarah dikenakan Stinney.

Belakangan, keterangan berbeda muncul pula dari kerabat para bocah-bocah perempuan yang tewas. Menurut mereka, Stinney dikenal sebagai berandalan yang mengancam akan membunuh siapa pun yang terlalu dekat dengan tempat dia menggembalakan sapi milik keluarga.

Terry Evans, sepupu Thames yang lahir setahun setelah saudaranya itu meninggal, mengaku malu bahwa persidangan ini tak digelar lebih awal. Dia bercerita bahwa pada 1944 pamannya hadir dalam eksekusi Stinney. Menurut Evans, pamannya yakin Stinney bersalah, tetapi pada saat bersamaan merasa tak enak pada keluarga Stinney.

"Semua orang yang masih anak-anak pada saat itu, yang mereka tahu sesudahnya (kasus Stinney) adalah ketakutan," ujar Evans. "Semua yang orang-orang katakan (sekarang) adalah desas-desus."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com