Salin Artikel

Kerisauan Guru Bahasa Melayu di Thailand Selatan

Che-Ruhanee Asma-ae adalah seorang guru Bahasa Melayu berumur 34 tahun di Srinagarindra Princess Mother School, Provinsi Yala bagian selatan yang kerap dilanda banyak masalah. Terlahir di provinsi tetangga, Pattani, Cikgu (“guru”) Che dikenal murid-muridnya sebagai sosok yang tenang dan bertekad kuat.

“Bahasa menunjukan siapa kita. Bahasa berbeda dengan agama, sebab bahasa melampaui segala keyakinan dan itulah sisi indahnya. Seseorang yang beragama Buddha bisa berbahasa Melayu, dan tidak ada yang salah dengan itu. Jadi bila orang Muslim bisa berbahasa Thai, yang lain pun bisa berbahasa Melayu, bukan?” katanya.

Bertolak belakang dengan wilayah Thailand lain yang mayoritas beragama Buddha dan berbahasa Thai, tiga provinsi selatan Thailand (Yala, Pattani, dan Narathiwat) mayoritas Muslim dan berbahasa Melayu.

Tiga provinsi ini juga telah dilanda aksi pemberontakan terlama di Asia Tenggara (bermula di awal 1960), yang dipicu oleh kebijakan asimilasi yang insensitif dan diterapkan secara kasar.

Sama halnya dengan Myanmar, Filipina dan negara ASEAN lainnya yang terus bergulat dengan hak minoritas, Thailand juga harus menempuh pengalaman kompleks yang seringkali berujung pahit.

Isu bahasa, agama, dan budaya bagaikan duri di dalam daging. Isu ini pun telah menjadi pembakar masalah di wilayah selatan Thailand. 

Korban atas kejadian ini telah surut dan mengalir selama berpuluh-puluh tahun. Meski berkali-kali diupayakan, perdamaian sulit tercapai.

Pada 2007, korban meninggal memuncak hingga 892 jiwa – hal ini merupakan aksi pembalasan atas pembantaian berdarah di Tak Bai pada 2004 yang membunuh 85 orang. Untungnya, sejak itu aksi kekerasan telah menurun cukup signifikan dan sejauh ini di 2018, jumlah korban berada di titik terendah dengan 61 meninggal dan 130 luka-luka.

Dengan lebih dari 7.000 korban jiwa sejak 2004, tentu perlu diingat hampir seluruh konflik berawal dari isu identitas – agama dan bahasa. Sehingga mau tidak mau, para guru – terutama guru bahasa Melayu – berada di garda terdepan.

Cikgu Che yang selalu berpakaian rapi adalah sosok pekerja keras. Dia bercerita, “Saya guru yang sangat bangga. Saya telah mengajar lebih dari dua tahun. Saya juga menjadi petugas kesejahteraan fakultas," katanya.

"Ada sekitar 100 murid yang saya didik di Mathayom 5 dan 6 (setara kelas 2 dan 3 SMA). Mereka berbicara bahasa Melayu Pattani di rumah, tapi di sekolah mereka belajar Bahasa Melayu resmi, seperti di Malaysia. Walau hanya kelas tambahan, saya mengajar dengan serius seperti halnya dengan para murid,” lanjut dia.

Bagi yang tidak tahu, Melayu Pattani adalah dialek lokal yang digunakan oleh mayoritas 2,03 juta penduduk di wilayah ini. Nadanya yang lirih sangat mirip dengan logat Melayu di Kelantan, wilayah Malaysia yang berada di perbatasan selatan Thailand.

Saat ini keterbukaan terhadap bahasa lokal sangat bertolak belakang dengan ketika dirinya masih muda. Dulu, murid didenda bila ketahuan menggunakan bahasa Melayu. Dispensasi kecil seperti ini telah meredakan, namun belum menghentikan, ketegangan yang terjadi.

Sebagai anak kedua dari empat bersaudara–dan putri satu-satunya– ini, Cikgu Che nampak seperti seorang penghasut. Tapi dia memang tidak akan tinggal diam.

“Saya seorang aktivis semasa kuliah (dia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Prince Songkla yang tak jauh dari tempat tinggalnya). Saya mengirimkan petisi ke rektor saat dia melarang aktivitas diskusi di kampus," katanya.

Banyak pihak, baik negara lain maupun komunitas internasional mengkritik cara pemerintah Thailand yang tidak mengatasi pertumpahan darah ini dengan sungguh-sungguh.
Pada Maret 2005, pemerintahan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra membentuk Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC) yang dipimpin oleh sang mantan Perdana Menteri yang sangat dihormati, Anand Panyarachun.

Fokus utama Komisi ini adalah membuat rekomendasi dan upaya perdamaian melalui serangkaian usulan perubahan. Salah satunya menjadikan bahasa Melayu Pattani sebagai bahasa resmi wilayah dan membentuk satuan tugas tak bersenjata untuk berdialog dengan kelompok militan.

Sayangnya, tapi memang tidak mengejutkan, mantan Perdana Menteri, Jenderal dan Presiden Dewan Penasehat (Privy Council) Kerajaan Prem Tinsulanonda bersikap menolak usulan Komisi. “Kita tidak dapat menerima usulan tersebut sebab kita adalah warga Thailand. Negara kita Thailand, dan bahasa kita Thai,” dia menegaskan.

Cikgu Che pun secara terang-terangan menentang. “Pemerintah takut akan bahasa Melayu, bagi mereka ini adalah ancaman. Bahasa Thai memang penting, tapi Thailand adalah negara dengan banyak bangsa.”

Cikgu Che dengan tegas menambahkan, “Bahasa adalah bagian dasar di kehidupan kita. Tidak ada yang bisa memisahkan bahasa dari kehidupan manusia. Saya sangat bangga bisa berbahasa Melayu. Saya melihat diri saya sebagai orang Melayu dulu.” 

https://internasional.kompas.com/read/2018/12/18/12005831/kerisauan-guru-bahasa-melayu-di-thailand-selatan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke