Salin Artikel

Hubungan Dagang dan Reformasi Politik Tiongkok

Sebanyak 2.900 anggota parlemen menyatakan setuju mencabut pembatasan masa bakti presiden. Hanya 2 anggota parlemen yang menolak, dan 1 orang menyatakan abstain.

Artinya, pemimpin Tiongkok saat ini, Xi Jinping, akan menjadi presiden seumur hidup.

Harapan sejumlah kalangan, seperti Fareed Zakaria, bahwa reformasi ekonomi sejak era Deng Ziaoping akan membawa angin perubahan keterbukaan politik dan kebebasan sipil nampaknya belum menemukan tanda-tanda perkembangan berarti.

Semasa tinggal di Canberra tiga tahun lalu, setiap pagi saya menyaksikan dua orang setengah baya membangun tenda di seberang jalan bangunan megah kedutaan Tiongkok, Canberra.

Mereka membentang spanduk. Di tengahnya terdapat tulisan huruf Latin, kemungkinan adalah terjemahan dari aksara China di sekitarnya. ‘Falun Dafa is Good.’

Aksi komunitas Falun Dafa atau Falun Gong ini dilakukan setiap pagi, dimulai pada pukul delapan. Di depan spanduk yang terbentang mereka melakukan gerakan-gerakan seperti jurus-jurus pencak silat. Pelan. Penuh penghayatan.

Lalu kemudian mereka akan duduk menenggelamkan diri dalam meditasi. Di depannya, bangunan kedutaan Tiongkok berdiri megah. Angkuh. 

Bangunan itu tinggi menjulang, luas membentang. Di depan, samping kanan, dan kiri mengapit Coronation Drive, Forster Crescent, dan Flyin Drive: nama-nama jalan yang tidak begitu ramai.

Kementerangan bangunan kedutaan Tiongkok ini hanya bisa disaingi oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.

British High Commission di seberang kanan jalan bahkan Nampak terlalu kecil dibanding bangunan kedutaan negara komunis itu.

Hubungan dagang Australia dan Tiongkok kian hari kian besar. Namun, tulisan ini tidak akan membahas apakah ada korelasi antara kian besarnya hubungan dagang dengan bangunan kedutaan yang semakin besar dan megah.

Yang akan dibahas adalah apakah hubungan dagang memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri.

Teori Elastisitas

Banyak studi yang sudah membahas tema ini. Salah satu yang menarik dan relevan adalah studi Flores-Macias dan Kreps (2013), The foreign policy consequences of trade.

Dalam studi itu, kedua penulis mengumpulkan data respon negara-negara aliansi Tiongkok di Afrika dan Amerika Latin terhadap peristiwa-peristiwa yang menyangkut kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia (HAM) di Tiongkok, hubungannya dengan hubungan dagang kedua wilayah. Isu pelanggaran HAM yang ada di Tiongkok meliputi kekerasan dan diskriminasi pada komunitas Falun Gong, Tibet, minoritas Muslim, dan para aktivis pro-demokrasi.

Flores-Macias dan Kreps mengandaikan kebijakan luar negeri adalah dependent variable, sementara hubungan dagang adalah independent variabel.

Hipotesis yang dibangun oleh penulis adalah semakin kuat hubungan dagang antara Tiongkok dan kedua wilayah itu, maka akan semakin besar dukungan kedua wilayah pada Tiongkok dalam isu-isu HAM di sidang-sidang PBB.

Dari data yang terkumpul terlihat ada paralelitas tren peningkatan hubungan dagang wilayah itu dengan dukungan pada Tiongkok dalam isu HAM.

Dalam penelitian ilmiah, tren yang sama pada dua variabel belum tentu menunjukkan hubungan kausalitas keduanya.

Di sini Flores-Macias dan Kreps berusaha membuktikan hipotesisnya. Mereka kemudian mengambil asumsi elastisitas tren perkembangan kedua variabel.

Pertanyaannya bukan apakah dukungan pada isu pelanggaran HAM Tiongkok meningkat seiring dengan peningkatan hubungan dagang Tiongkok dan Afrika/Amerika Latin, tapi seberapa kuat atau signifikan hubungan dagang berpengaruh.

Dengan menggunakan asumsi elastisitas, signifikansi hubungan itu terlihat.

Teori elestisitas (elasticity) adalah cara untuk mengukur berapa persen perubahan suatu variabel jika variabel lainnya berubah 1 persen.

Karena pada studi ini trade adalah independent variable maka yang diukur adalah perubahan pada kebijakan luar negeri negara-negara Afrika dan Amerika Latin dalam isu HAM jika hubungan dagang dengan Tiongkok menguat sebesar 1 persen.

Temuannya adalah bahwa rata-rata setiap satu persen penguatan hubungan dagang kedua wilayah meningkatkan 4 persen dukungan negara-negara Africa/Amerika Latin pada Tiongkok dalam isu HAM pada sidang-sidang PBB.

Ini bisa juga memiliki implikasi pada advokasi hak-hak azasi manusia internasional.

Berdasarkan data ini, salah satu rekomendasi yang bisa diajukan adalah membatasi hubungan dagang dengan Tiongkok karena hubungan dagang dengan Tiongkok akan membuat negara-negara aliansi dagang Tiongkok tidak punya sensitifitas pada isu HAM di negara itu.

Artinya, semakin kuat hubungan dagang dengan Tiongkok, maka akan semakin hilang respons internasional terhadap isu HAM di negara itu.

Faktor Demokrasi

Namun begitu, mari kita lihat beberapa kekurangan penelitian Flores-Macias dan Kreps ini.

Pertama, ada persoalan selection bias dalam studi ini. Kenapa yang dipilih Afrika dan Amerika Latin?

Negara-negara di kedua wilayah itu, dalam tingkat yang bervariasi, memiliki kemiripan karakter dengan Tiongkok dalam hal lemahnya demokrasi dan kebebasan sipil.

Jika negara-negara yang dimasukkan adalah yang memiliki tingkat demokrasi politik dan kebebasan sipil yang kuat, seperti Amerika Utara, Eropa Barat, atau Australia, mungkin akan muncul cerita yang berbeda.

Jangan-jangan solidaritas sebagai sesama negara pelanggar HAM membuat Afrika dan Amerika Latin cenderung berdiri bersama Tiongkok dalam isu itu.

Kedua, menjadikan hubungan dagang sebagai satu-satunya independent variable yang mempengaruhi kebijakan luar negeri menutup kemungkinan faktor lain.

Dalam hal ini, penelitian ini bisa jatuh pada cacat spuriousness, di mana dua variabel yang diandaikan memiliki hubungan sebab akibat boleh jadi sebetulnya tidak berhubungan.

Ada faktor lain yang lebih berpengaruh, tapi oleh peneliti diabaikan begitu saja.

Kasus pelanggaran HAM dan tingkat kebebasan sipil di negara-negara Afrika dan Amerika Latin kemungkinan adalah faktor kenapa negara-negara itu mendukung Tiongkok.

Jika variable ini dimasukkan, kesimpulan penelitian itu bisa jadi berbeda. Dengan begitu, studi ini memiliki masalah dalam hal keabsahan internal (internal validity).

Dua kelemahan internal itu bisa membuat studi ini tidak bisa diuniversalkan atau tidak bisa diterapkan di wilayah-wilayah lain (external validity).

Salah satu contohnya adalah dua orang yang setiap hari melakukan demonstrasi di depan kedutaan Tiongkok di Canberra di awal tulisan ini.

Susah dibayangkan demonstrasi semacam itu bisa terjadi di negara-negara lain aliansi dagang Tiongkok yang memiliki tingkat kebebasan sipil yang masih rendah.

Di Indonesia, misalnya, demonstrasi menyangkut nasib Falun Gong tidak akan bisa berlangsung lama. Pasukan polisi akan segera datang dan menangkapi para demonstran.

Tidak percaya? Coba aja.

Kuat lemahnya respons terhadap isu pelanggaran HAM di Tiongkok tidak dipengaruhi oleh hubungan dagang dengan negara itu, tapi oleh kuat lemahnya penegakan HAM di dalam negeri sendiri.

https://internasional.kompas.com/read/2018/03/13/20074991/hubungan-dagang-dan-reformasi-politik-tiongkok

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke