Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Sosok Ong Ye Kung dan Masa Perselisihan di Singapura

Kompas.com - 19/07/2017, 22:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SINGAPURA telah memasuki "Masa Perselisihan” (age of contestation). Ungkapan ini dibuat oleh teman baik saya dan kolumnis Straits Times, Chua Mui Hoong, untuk menandai naiknya intensitas perdebatan publik di negara kota (city state) yang dulunya kondusif ini, terutama setelah meninggalnya Lee Kuan Yew pada 2015.

"Perselisihan” ini dapat dikatakan mencapai puncaknya dengan terjadinya pertikaian di dalam keluarga Lee yang mencengangkan, terkait wasiat almarhum Lee Kuan Yew atas rumah peninggalannya di 38 Oxley Road.

Pada masa lalu, media yang sudah dikendalikan pemerintah bisa “berhasil” mengatasi segala debat publik. Tapi, dengan kemunculan media sosial saat ini, solusi atau upaya pemerintah untuk menutup-nutupi sebuah kasus secara rapi, mustahil dilakukan.

Ini sulit untuk memahami sebuah maksud baik dan para teknokrat People’s Action Party (PAP), partai yang berkuasa saat ini, menghadapi tantangan politik ini.

Terlebih lagi, semua ini terjadi di tengah ketidakpastian politik pasca jatuh pingsannya Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan Menteri Keuangan Heng Swee Keat yang mengejutkan di muka publik tahun lalu.

Kerisauan bertambah ketika kalangan elit terlihat berupaya tidak memasukkan Wakil Perdana Menteri Tharman Shanmugaratnam dari semua pembicaraan suksesi. Padahal keturunan Singapura-India ini adalah sosok yang sangat dihormati.

Sekarang perhatian terpusat pada PAP yang disebut juga "Fourth Generation", terutama pada enam pria yang disorot Straits Times tahun lalu sebagai calon pemimpin masa depan.

Mencoba memahami perkembangan Singapura saat ini, saya tertarik dengan satu dari enam nama tersebut, yakni Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan Tinggi dan Keterampilan, dan Menteri Kedua Pertahanan.

Mengapa? Terdapat tiga poin penting yang menarik sebelum saya bertemu dengannya.
Pertama, pria tampan berusia 47 tahun ini telah bertahun-tahun bekerja di bawah Lee Hsien Loong secara pribadi.

Dia pernah menjadi Sekretaris Pers Hsien Loong pada 1997 hingga 2003, dan kemudian menjadi Sekretaris Pimpinan Utama dari 2003 hingga 2005. Kedekatan semacam itu memberikan sebuah ikatan kepercayaan yang dalam dan lama di antara kedua pria tersebut.

Kedua, Ong adalah orang yang “kaya akan pengalaman”. Sebagian besar kader PAP hanya sekejap mengalami kesuksesan ketika menuju puncak.

Namun, Ong pernah dikalahkan habis-habisan di Aljunied Group Representation Constituency (GRC) bersama mantan Menteri Luar Negeri, George Yeo, dalam perjalanan politik perdananya pada Pemilu 2011.

Itu adalah momen yang memalukan bagi bintang yang sedang naik daun itu. Situasi itu memaksanya untuk mengevaluasi kembali dirinya sendiri.

Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan (Pendidikan Tinggi dan Keterampilan) dan Menteri Kedua untuk Pertahanan
Ministry of Education, Singapore Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan (Pendidikan Tinggi dan Keterampilan) dan Menteri Kedua untuk Pertahanan
Ketiga, saya terpesona dengan riwayat hidupnya yang tidak biasa. Ayahnya seorang anggota parlemen dari Partai Barisan Sosialis di era 1960-an dan sangat bertentangan dengan PAP yang dikuasai Lee Kuan Yew.

Tumbuh dengan bahasa Mandarin sebagai bahasa percakapan sehari-harinya, Ong berhasil beralih menggunakan Bahasa Inggris dengan fasih. Dia juga lulusan dari London School of Economics (LSE).

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com