Bank-bank Myanmar memiliki lebih dari 1.000 cabang secara nasional dan berencana untuk menambah jumlah ATM menjadi lebih dari 2.000, sebuah tren yang dapat mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan layanan keuangan.
Lalu datanglah mobile banking.
“Nah, sekarang menjadi lebih mudah lagi, kami tidak perlu pergi ke bank setiap saat dan saya dapat dengan mudah transfer uang ke orangtua saya. Lihat!” Ko Khant menunjukkan ponsel pintar hitamnya.
Sebesar 90 persen populasi Myanmar memiliki akses ke ponsel, dan sekitar 80 persen menggunakan ponsel pintar.
Perusahaan e-commerce seperti Red Dot Network – yang memiliki lebih dari 3.000 pemasok retail di Yangon, Mandalay dan Naypyidaw – serta perusahaan telko asal Norwegia Telenor telah bekerja sama dengan bank-bank untuk memanfaatkan potensi besar ini.
Namun Myanmar, seperti ekonomi ASEAN lainnya, harus menghadapi situasi penguatan dollar Amerika Serikat, ketidakpastian global yang didorong perang dagang oleh Trump, serta kemungkinan sanksi internasional atas krisis Rohingya.
Meskipun ekspor tekstil (saat ini mencapai lebih dari 2 miliar dollar AS per tahun) yang dimotori oleh upah rendah telah menjamur, Bank Dunia tetap berhati-hati dan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya untuk 2019 sebesar 0,4 persen menjadi 6,5 persen.
Untuk Ko Khant, ia lebih mendambakan masa depan yang lebih sederhana. Walaupun dia mengaku cukup up-to-date dengan perkembangan terkini–membaca koran cetak Myanmar Alin, membuka Facebook milik media 7Days dan the Irrawaddy--ia menolak topik-topik yang lebih politis.
“Saya ingin menjadi seorang network engineer, kembali ke Mawlamyine dan punya keluarga. Mungkin menjalankan bisnis saya sendiri sebelum saya menjadi terlalu tua," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.